Rabu, 21 Januari 2009

HUKUM PERADILAN ANAK

ADVOKASI ANAK
DALAM PROSES PERADILAN ANAK

(Telaah tentang tema Peradilan Restoratif bagi Anak
yang Bermasalah dengan Hukum kaitanya dengan UU Peradilan Anak)*

Oleh : M. Imam Purwadi, SH., MH**
____________________________________________________________________


Pendahuluan
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan YME, yang senantiasa harus dijaga dan dilindungi. Dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari HAM secara universal yang tertuang dalam Konvensi PBB tentang hak-hak anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa. Oleh karenanya, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.
Fenomena “kekerasan” (voilence) dan ”kejahatan” (crime) terhadap sesama manusia telah menjadi bahan kajian dan analisis di banyak negara. Upaya mencegah dan mengurangi tingkat kekerasan sudah dilakukan, baik melalui forum internasional maupun regional sebagai langkah keseriusan menangani masalah kekerasan ini. Secara sosiologis, kekerasan terhadap sesama manusia muncul disebabkan oleh masalah yang sangat kompleks yang melibatkan banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor kesulitan ekonomi, kondisi sosial, sempitnya lapangan pekerjaan, lingkungan dan sebagainya sekedar contoh munculnya kekerasan dan kejahtan. Bahkan, tudingan kepada akibat pengaruh globalisasi informasi dan teknologi yang menyebabkan merosotnya nilai-nilai masyakarat yang dibangun selama ini. Sehingga tak dapat dipungkiri, “hanya” gara-gara uang seratus perak nyawa melayang, gara-gara kalah judi anak jadi sasaran penganiayaan, hanya “coba-coba” nonton film porno anak tega memperkosa teman sebayanya, dan sebagainya-dan sebagainya. Pelaku di”cap” sebagai jagoan, preman, orang yang kebal senjata, dan sebagainya. Dalam perspektif ini, kekerasan merupakan gejala sosial yang tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang mendukung terjadinya kekerasan. Sedikit memberi gambaran, bahwa kekerasan terhadap sesama manusia telah terjadi dimana-mana baik di negara maju maupun berkembang, yang bahkan tidak sedikit kekerasan tersebut melibatkan anak-anak. Setiap tahun, prosentase tingkat kekerasan semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif. Tindakan kekerasan yang melibatkan anak sebagai korban maupun pelaku, juga semakin meningkat.
Dalam bahasan dibawah ini, dicoba memberi gambaran tentang analisis situasi anak yang berhadapan dengan hukum dan advokasi anak dalam proses peradilan anak berkaitan dengan tema lokakarya hari ini. Gambaran ini, bukan menunjukkan pandangan umum, tetapi lebih banyak pada tataran usul dan pendapat prbadi.
Profil Anak yang berhadapan dengan hukum
Pertama, mari kita renungkan hal-hal yang berkaitan dengan anak-anak kita:
- Bayangkan bagaimana perasaan kita, jika anak ini adalah anak, keponakan, cucu, anak tetangga kita sendiri?
- Hal-hal apa saja dalam bayangan kita, dialami anak sebelum ia berhadapan dengan hukum?
- Adakah ia mengalami ketakutan selama proses penangkapan, penahanan, dan pengadilan berlangsung, dan akhirnya di vonis untuk menjalankan hukuman di LP?
- Perlakuan seperti apa saja yang kita bayangkan, ia menjadi takut?
- Adakah ia kelak menjadi kriminal?
- Adakah ia memohon dan meminta bantuan kepada kita?
- Menurut anda, apa saja yang menjadi kebutuhan dasar anak-anak ini?
Kedua,
- Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU No. 23 th. 2002)
- Anak nakal adalah:
- Anak yang melakukan tindak pidana, atau
- Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (UU No. 3 th. 1997)
- Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, pemeliharaan dan perlindungan termasuk dari lingkungan hidup yang dapat membahayakan. Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi, dengan tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan sosial (UU No. 4 th. 1979)
Secara sosiologis, pengertian ”anak nakal” menjadi stigma yang pada dasarnya adalah bentuk reaksi masyarakat yang tidak resmi terhadap perilaku anak yang melakukan perbuatan yang tidak disukai oleh masyarakat yang bersangkutan. Di sisi lain, stigma ini sebenarnya membuka peluang bagi anak untuk menyesuaikan dirinya dalam membentuk pola perilaku yang mencerminkan dirinya sebagai ”anak nakal”. Kenakalan sebagai ”offences”, segala perbuatan anak yang dianggap menyimpang , tetapi apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, misalnya merokok, membolos, membantah, kabur dari rumah, dll. Namun, kenakalan sebagai pelanggaran hukum, segala perbuatan dianggap menyimpang bila dilakukan oleh anak dan apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap sebagai kejahatan. Coba kalau tidak di ”cap” sebagai ”anak nakal”, belum tentu dia menjadi ”anak nakal” beneran kan?
Anak yang berhadapan dengan hukum, rata-rata berusia 13 – 18 tahun, dimana jumlah pelakunya lebih banyak anak laki-laki dibanding anak perempuan. Latar belakang keluarga: Pendapatan orang tua: Minim, Pas-pasan, Tidak jelas, Pekerjaan orang tua: Sopir, Pembantu Rumah Tangga, Pedagang, Petani, Swasta, Buruh bagunan, Pensiunan, Pedagang barang bekas, Pedagang ikan, Buruh pengangkut sampah, dsb. Adapun, Jenis ”kenakalan” yang dilakukan: UU Darurat No. 12 th. 1951: membawa senjata tajam, UU No. 22 th. 1997: kasus narkotika, Pengeroyokan, Uang palsu, Kejahatan susila, Perjudian, Pembunuhan, Penganiayaan, Pencurian, Penipuan dan penggelapan, Pemerasan, Persesongkolan jahat, dll. (Sumber: Ditjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI, tahun 2002)
Dari data di atas, menunjukkan bahwa jenis perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak sangat bervariasi dengan latar belakang keluarga yang menggambarkan pada keluarga menengah ke bawah. Disamping itu, dalam sistem peradilan anak di Indonesia pada dasarnya telah tersedia mekanisme untuk menyelesaikan masalah atau kasus anak di tingkat peradilan yang lebih tinggi. Menurut pendapat saya, kenaikan jumlah anak yang berhadapan dengan hukum disebabkan karena kemiskinan, disfungsi keluarga, keanggotaan dalam ”geng”, dan pendidikan yang rendah.
Pandangan Hukum tentang Perlindungan Hukum bagi Anak yang berhadapan dengan hukum dan Sistem Peradilan Anak di Indonesia
Secara umum, hukum bertujuan untuk memberikan rasa aman, tentram, damai dan sejahtera sehingga masyarakat menjadi tertib. Apabila dalam mempertahankan kehidupannya terjadi ketidakseimbangan, keharmonisan dan ketidakadilan-apapun masalahnya- maka hukum bergerak dan berjalan untuk ‘menetralisir’ keadaan. Dalam kacamata hukum, kekerasan dan kejahatan harus dicegah bahkan harus dibasmi. Perbuatan pidana terhadap sesama manusia akan menyebabkan ketidaktentraman, ketidakdamaian, ketidakadilan, dan ketidaktertiban dalam masyarakat. Dalam perspektif hukum, perbuatan pidana dapat terjadi karena adanya niat si pelaku dan munculnya kesempatan dalam situasi tertentu. Oleh karena itu, perbuatan pidana yang meresahkan masyarakat dan merusak tatanan kehidupan, pelakunya harus diberi sangsi hukum. Siapapun pelakunya, laki-laki maupun perempuan, anak-anak ataupun orang dewasa, sipil maupun militer, pejabat maupun rakyat, dimata hukum harus mempertanggung jawabkan perbuatan yang dilakukannya. Perangkat hukum yang mengatur perbuatan pidana dan perlindungan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum, dewasa ini, telah ada dan tersebar di berbagai konvensi dan peraturan
Secara universal, PBB telah membuat beberapa standar dan pedoman untuk membantu pilar sistem Peradilan Anak dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum, yang disebut UN Standart on Juvenile Justice atau Standar-standar PBB tentang Sistem Peradilan Anak. 3 (tiga) di antaranya adalah:
1. UN Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Peraturan Minimum Standar PBB tentang Administrasi Peradilan bagi Anak-1985-Beijing Rules)
2. UN Guidelines for the Prvention of Juvenile Delinquency (Pedoman PBB tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak-1990-Riyadh Guidelines).
3. UN Rules for the Protection of Juvenile Deprived of their liberty (Peraturan PBB tentang Perlindungan bagi Remaja yang Kehilangan Kebebasannya-1990-JDL)

Secara umum, perlindungan hukum adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada seseorang yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kaitannya dengan hak anak upaya perlindungan tersebut adalah untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Adapun, landasan hukum di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor: 6 tahun 1974, Ketentuan Pokok-Pokok Kesejahteraan Sosial
2. Undang-undang Nomor: 4 tahun 1979, Kesejahteraan Anak
3. Undang-undang Nomor: 3 tahun 1997, Peradilan Anak
4. Undang-undang Nomor: 4 tahun 1997, Penyandang Cacat
5. Undang-undang Nomor: 5 tahun 1998, Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia).
6. Undang-undang Nomor: 39 tahun 1999, HAM
7. Undang-undang Nomor: 26 tahun 2000, Pengadilan HAM
8. Undandang-undang Nomor: 2 tahun 2002, Kepolisian
9. Undang-undang Nomor: 23 tahun 2002, Perlindungan Anak.
10. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
11. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana


Sistem peradilan anak-analisis situasi saat ini
Menurut UU No. 3 tahun 1997, ada 7 (tujuh) pilar Peradilan Anak, yaitu Polisi, Pengacara, Jaksa, Hakim, Petugas Bapas, Petugas Lapas, dan Warga Masyarakat. Dalam banyak hal, undang-undang tersebut tidak serta merta membuka kesadaran pada pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum untuk mencarikan jalan keluar pemecahan masalah yang berpihak pada kepentingan terbaik anak.
Misalnya: lembaga kepolisian, sebagai pintu gerbang pananganan perkara anak (korban, pelaku, atau saksi), seringkali, justru, polisi melakukan kekerasan dan penganiayaan saat menangkap dan memeriksa dalam proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP, juga ketika anak-anak berada dalam tahanan kantor polisi. Memang, apabila dilacak dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang keplolisian, tidak ada satu pasal pun yang mengatur, menetapkan standar perlakuan khusus terhadap penanganan perkara anak. Tetapi hal itu bukan berarti membuka peluang untuk melakukan kekerasan. Dalam perkembangan keberlakuan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, lembaga kepolisian telah membuka ruang layanan khusus (RLK) atau ruang pelayanan khusus (RPK) di masing-masing polres, yang berfungsi untuk memberikan pelayanan pada anak yang berhadapan dengan hukum
Kejaksaan, lembaga ini pun belum mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Seringkali jaksa cenderung mendukung BAP kepolisian untuk diajukan pada proses peradilan. Kasus ”Raju” di Sumatera Utara membuktikan hal itu. Sebenarnya, jaksa dapat mengambil tindakan pengabaian atau tidak meneruskan suatu perkara anak ke tahap selanjutnya, atau memberikan keputusan bentuk pengalihan dari proses hukum formal lebih lanjut. Dengan tujuan, yaitu meminimalkan anak-anak dari kerugian lebih lanjut akibat keberadaannya dalam sistem peradilan pidana.
Pengadilan, anak-anak yang berhadapan dengan hukum pada setiap proses peradilan, baik ketika berususan dengan polisi, jaksa, maupun dalam persidangan pengadilan, pada dasarnya memiliki hak untuk didampingi atau diwakili pengacara, didampingi petugas kemasyarakatan dari Bapas, atau didampingi orang tua atau walinya. Tetapi, dalam banyak kasus anak, pengacara, petugas kemasyarakatan Bapas, orang tua atau walinya seringkali tidak hadir. Bahkan yang muncul adalah, dalam persidangan anak-anak tidak boleh didampingi oleh petugas kemasyarakatan Bapas. Ketukan palu Hakim paling menentukan atas nasib anak. Anak akan menjadi anak negara, dipenjara, atau dikembalikan pada orang tuanya, tergantung putusan hakim. Kecenderungan hakim untuk ”menghukum” menjadikan anak di dalam institusi negara dibuktikan dengan penelitian tentang ”kajian terhadap fungsi dan peran Balai Pemasyarakatan untuk mengupayakan perlindungan anak dalam sistem peradilan anak” (Jurusan kriminologi FISIP UI, 2000)
Secara umum, penanganan kasus anak masih memprihatinkan. Ketidakpahaman aparat hukum tentang definisi anak menjadi salah satu sebab belum seragamnya konsep anak menurut hukum Indonesia. Batas usia anak masih menjadi perdebatan, yang pada akhirnya merugikan anak. Dalam UU No. 3 tahun 1997, pasal 4 dan 5 dinyatakan dengan tegas bahwa anak adalah 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun dan belum menikah. Meski UU ini dikritik hebat, karena menentukan batas usia 8 tahun sebagai batas usia bawah dan ketentuan belum menikah. Namun, batas usia 18 tahun secara umum dapat diterima. Kesalahan mendefinisikan anak yang masih terjadi, mengakibatkan anak diperlakukan seperti penjahat dewasa, baik dalam proses pemeriksaan, persidangan, tuntutan hukum dan pemberian putusan Hakim. UU Peradilan Anak membedakan anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan usia, yaitu:
Anak –anak di bawah usia 8 tahun
Tidak tunduk pada proses pidana
Anak-anak antara 8 – 12 tahun
Dapat dituntut di bawah kondisi-kondisi tertentu, tetapi tidak dapat dipidana.
Anak-anak di atas usia 12 tahun
”dapat dituntut”
Secara ringkas, proses peradilan anak yang berlangsung di Indonesia, dan kondisi-kondisi permasalahan yang mengikutinya, dirinci sebagai berikut:
Sistem Peradilan sebagai suatu keadaan yang menakutkan bagi anak:
· Proses peradilan adalah proses yang asing, tidak dikenal, dan tidak biasa bagi anak.
· Alasan anak dimasukkan dalam proses peradilan sering tidak jelas.
· Sistem peradilan dibuat untuk dan dilaksanakan oleh orang dewasa, tidak berorientasi pada kepentingan anak dan tidak ”ramah-anak”.
· Proses peradilan menimbulkan stres dan trauma pada anak

Sebagai sumber penyebab tekanan bagi Anak dalam Sistem Peradilan Anak, dapat dikategorikan, sekurang-kurangnya, 4 (empat), yaitu: Perbuatan, Pra-Persidangan, Persidangan, dan Pasca-Persidangan.


Perbuatan:
Yang mengalami: Anak sebagai tersangka atau terdakwa dan Anak sebagai korban atau saksi.
Efek: penderitaan fisik dan emosional
Pra-Persidangan:
Sumber tekanan:
· Pemeriksaan medis (bagi korban)
· Pertanyaan yang tidak simpatik, diulang-ulang dan kasar, dan tidak berperasaan oleh petugas (bagi korban dan pelaku)
· Harus menceritakan kembali pengalaman atau peristiwa yang tidak menyenangkan, dan melakukan konstruksi.
· Wawancara dan pemberitaan media masa.
· Menunggu persidangan
· Proses persidangan yang tertunda.
· Pemisahan dari keluarga dan/atau tempat tinggal.
Efek:
Ketakutan, kegelisahan, gangguan tidur, gangguan nafsu makan, dan gangguan jiwa.
Persidangan:
Sumber tekanan:
- Menunggu dalam ruang sidang.
- Kurang pengetahuan tentang proses yang sedang berlangsung
- Tata ruang pengadilan
- Berhadapan dengan terdakwa (bagi korban), berhadapan dengan saksi dan korban (bagi pelaku).
- Berbicara di hadapan petugas pengadilan.
- Proses pemeriksaan dalam sidang
Efek:
Gelisah, tegang, gugup, kehilangan kontrol emosional, nangis, gemetaran, malu, depresi, gangguan kemampuan berfikir (termasuk ingatan), dan gangguan kemampuan berkomunikasi untuk memberi keterangan atau kesaksian dengan jelas.
Pasca persidangan:
Sumber tekanan: putusan hakim, tidak adanya tindak lanjut, stigma yang berkelanjutan, rasa bersalah, dan kemarahan dari pihak keluarga dan masyarakat.

Dukungan ke arah perubahan sistem peradilan Anak, melalui prinsip keadilan restoratif (restorative justice)
Hak anak, terutama, yang berkaitan dengan perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sangat penting untuk dilaksanakan. Dalam sistem peradilan anak yang berlangsung selama ini, keadilan yang hendak dicapai adalah keadilan retributif. Dalam aspek ini, peradilan sangat mendorong pada penjatuhan kesalahan dan menimbulkan rasa bersalah pada perilaku pada masa lalu. Pada tataran konsep, keadilan retributif memandang kejahatan sebagai pelanggaran sistem. Dalam praktik kemudian, keadilan ini tidak menyentuh aspek ”kemanusiaan” dalam sistem peradilan anak. Oleh karena itu, sebagai alternatif penanganan kasus anak ke depan, sebagaimana ada upaya sinergis dari pemerintah untuk mengevaluasi sistem peradilan anak di Indonesia, perlu adanya penyempurnaan dan perubahan substansi sistem peradilan anak. Upaya membangun sistem peradilan anak yang baru ini sebaiknya mengarah pada prinsip keadilan restoratif (restorative Justice).
Keadilan restoratif adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibatnya dimasa yang akan datang (pokja PBB, restorative Justice). Dalam pengertian lain, dilihat dari kacamata keadilan restoratif, tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menentramkan hati (Howard Zehr).
Prinsip keadilan restoratif ini adalah: a). Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya; b). Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif; c). Melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, sekolah, dan teman sebaya; d). Menciptakan forum untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah; dan e). Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi yang formal.
Perbandingan Keadilan Retributif dan Restoratif (Howard Zehr)
Keadilan Retributif
Keadilan Restoratif
Kejahatan adalah pelanggaran sistem
Kejahatan adalah pelukaan terhadap individu atau masyarakat
Focus pada penjatuhan kesalahan, menimbulkan rasa bersalah, dan pada perilaku masa lalu.
Fokus pada pemecahan masalah dan memperbaiki kerugian
Korban diabaikan
Hak dan kebutuhan korban diperhatikan
Pelaku pasif
Pelaku didorong untuk bertanggung jawab
Pertanggungjawaban pelaku adalah hukuman
Pertanggung jawaban pelaku adalah menunjukkan empati dan menolong untuk memperbaiki kerugian
Respon terfokus pada perilaku masa lalu perilaku
Respon terfokos kepada konskuensi menyakitkan akibat prilaku pelaku
Stigma tidak terhapuskan
Sigma dapat hilang melalui tindakan yang tepat
Tidak didukung untuk menyesal dan dimaafkan
Didukung agar menyesal dan maaf sangat mungkin diberikan
Bargantung pada aparat
Bergantung pada ketertiban langsung orang-orang yang terpengaruh oleh kejadian
Proses sangat rasional
Diperbolehkan untuk menjadi emosional
Keadilan restoratif dapat dilaksanakan melalui; a). Mediasi korban dengan pelanggar; b). Musyawarah kelompok keluarga; c). Pelayanan di masyarakat yang bersifat pemulihan, baik bagi korban atau pelaku; d) dan lain-lain. Hal ini, tentu, perlu pelibatan semua pihak untuk memecahkan masalah kenakalan anak, kesamaan persepsi, kepedulian, tidak terlalu birokrasi, pro aktif, dan koordinatif.
Dalam konteks ini, pada tingkat pemeriksaan awal perlu peran polisi yang bisa menjadi bagian penting dalam penghindaran anak dari proses peradilan formal. Jika peran ini dapat dijalankan, betapa berartinya peran polisi dalam kehidupan anak selanjutnya, sebagaimana mandat yang diberikan, yaitu: a), memberikan bantuan dan melindungi anak yang menjadi korban (pelaku); b). Bersikap netral; c). Mengembangkan pendekatan dan komunikasi yang baik dengan korban (pelaku); d). Bersikap sabar, tidak mengkritik atau berprasangka, dan mau berbagi rasa;
e). Tidak membawa-bawa persoalan pribadi; dan f). Mengutamakan kebutuhan anak daripada kepentingan lain (Pedoman RPK Polri).

Penutup
Dukungan (advokasi) pada suatu perubahan, apalagi perubahan undang-undang, tentu bukan hanya sekedar lontaran gagasan saja, tapi yang lebih penting adalah usaha yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terlibat dari semua aspek yang berhubungan dengan sistem peradilan anak. Bangunan sistem peradilan anak yang ada, jika dipertahankan, seyogyanya peran dan fungsi ke 7 (tujuh) pilar tersebut ditinjau ulang. Perumusan peran haruslah berorientasi pada ”keadilan restoratif” yang di negara-negara lain sudah lebih dulu menggunakannya. Disamping itu, perlunya kajian akademis yang terus menerus sebagai bentuk kepedulian dan transformasi pengetahuan dan pengalaman bagi maju mundurnya sistem ini.
Demikianlah, pandangan secara umum tentang anak yang berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan anak. Sumber utama tulisan di atas adalah ”pedoman pelatihan tentang perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum”.
Mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita dan menjadi amal ibadah dikemudian hari. Amien …….

Wabillahit taufiq wal hidayah.
Mataram, Desemberb2006

m. imam purwadi, sh. Mh
Fakultas Hukum Universitas Mataram
Kordiv. Hukum dan Advokasi LPA Ntb.
* Disampaikan pada Lokakarya tentang “Pengembangan Peradilan Restoratif” yang diselenggarakan oleh LPA NTB, tanggal 27 – 28 Desember 2006.
** Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Mataram. S1 dari FH UII, S2 dari Pascasarjana UI, Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi LPA NTB.

HUKUM PENCATATAN KELAHIRAN

PEMBUATAN AKTA KELAHIRAN
(Upaya Perlindungan Hukum bagi Anak)

(Dukungan ke arah Kebijakan Publik tentang Pencatatan Kelahiran Dan Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran)
Oleh:
M. Imam Purwadi, SH., MH
(Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Mataram,
Anggota Tim Advokasi Pembangunan Manusia Dini Propinsi NTB)

------------------------------------------------------------------------------------

I. Dasar Pemikiran
Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga dan dibina, karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup dan identitas dirinya sebagai upaya perlindungan hukum.
Upaya perlindungan hukum terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni dengan memberikan identitas diri anak sejak lahir. Pemberian identitas anak dilakukan dengan cara pencatatan setiap kelahiran anak yang dilakukan oleh pemerintah berasas non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Di Indonesia, upaya Perlindungan hukum terhadap kedudukan anak merupakan amanah Undang-Undang Dasar 1945. Implementasi amanat ini, salah satunya, adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Bab V Pasal 27 dan 28 ditegaskan mengenai hal-hal yang berkaitan kedudukan anak.
Pasal 27 ditegaskan bahwa identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya. Identitas ini dituangkan dalam akta kelahiran. Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membentu proses kelahiran.
Sedangkan dalam pasal 28, dinyatakan pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kalurahan/desa. Pembuatan akta kelahiran harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan. Pembuatan akta kelahiran tersebut tidak dikenai biaya.
Dalam kerangka perumusan kebijakan seperti di atas, “pembuatan” akta kelahiran merupakan aktivitas administrasi pemerintahan yang secara umum diselenggarakan oleh pemerintah dan negara yang di dukung oleh anggaran negara (APBN dan APBD). Dengan demikian, “pembuatan” tersebut menjadi tanggung jawab negara yang di dukung dana pemerintah dan negara. Akankah rumusan seperti ini diterjemahkan seperti apa adanya? Berapa besar anggaran yang dibutuhkan untuk semua itu?
Permasalahan yang sebenarnya muncul adalah ketika peran dan fungsi Kantor Catatan Sipil (Burgerlijke Stand-Civil Registration) menjadi kabur atau bahkan tidak jelas. Pada awalnya, Kantor Catatan Sipil berdasarkan S. 1920: 751 jo S. 1927: 564 berfungsi melaksanakan peran sebagai pencatat adanya berbagai peristiwa hukum, seperti perkawinan, perceraian, kelahiran, dan kematian. Pencatatan ini kemudian dituangkan dalam bentuk akta-akta yang dikumpulkan ke dalam Buku Register Umum Akta-akta (perkawinan, perceraian, kelahiran, dan kematian). Akta-akta tersebut dapat diberikan kepada setiap warganegara dalam bentuk Kutipan Akta, yang dalam penggunaannya adalah sebagai surat resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagai alat bukti yang sah (outentik) di luar maupun di dalam pengadilan. Dalam perjalanan waktu fungsi dan peran tersebut lambat laun dikurangi atau ditambah bahkan dihapus, seperti pencatatan perkawinan bagi orang Islam (sekarang ini dialihkan pada KUA). Bahkan, di beberapa daerah, Kantor Catatan Sipil sendiri sudah tidak ada, tetapi fungsi dan perannya masih ada dan dialihkan pada kantor lainnya, seperti Dinas kependudukan dan lain sebagainya.
Dalam kerangka ini, bahasan ini hanya sebatas pada upaya “pencerahan” dan “solusi” mengenai hal-hal yang berkaitan dengan akta kelahiran saja, karena yang selama ini muncul di permukaan adalah sulitnya memperoleh kutipan akta kelahiran dan tidak membahas pada akta-akta yang lain. Disamping itu, mekanisme “pembuatan” kutipan akta kelahiran yang masih berbelit-belit dan biaya yang relatif “mahal” menjadi perhatian dalam bahasan ini.

II. Tujuan
- Memperoleh pemahaman dan persepsi yang sama tentang kebijakan pelayanan tentang akta kelahiran;
- Memperoleh masukan dan saran pada dinas/instansi sektoral dalam kebijakan pelayanan akta kelahiran.
- Memperoleh masukan dalam penyusunan tertib administrasi kependudukan nasional dalam menunjang data pembangunan dan perlindungan hak-hak anak.

III. Hal-hal yang berkaitan dengan Pelayanan Kebijakan Akta Kelahiran
a. Dasar Hukum
Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang harus menjadi perhatian dan pengkajian mendalam yang berkaitan dengan pencatatan dan perolehan kutipan akta kelahiran. Aturan hukum ini dapat dibagi 2 (dua) hal.
Pertama;
- S. 1920 No. 751 jo S. 1927 No. 564
- Kep. Mendagri No. 477/1988
- Kep. Mendagri No. 117/1992
Dasar hukum di atas perlu ditinjau kembali keberlakuannya. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, antara lain:
- masih ada perbedaan perlakuan antara WNI asli dan WNI keturunan;
- masih ada pengklasifikasian terhadap status kelahiran (umum, istimewa, dispensasi atau tambahan);
- persyaratan permohonan perolehan akta yang masih sulit di dapat;
- pengklasifikasian biaya-biaya dirasa berat dan membingungkan masyarakat;
Kedua;
- UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
- UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
- UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 tahun 2005, tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di Daerah.
Aturan hukum tersebut perlu mendapat perhatian, karena adanya “political will” dari pemerintah untuk memudahkan dan menyederhanakan pembuatan dan mekanisme perolehan akta kelahiran.

b. Konsep yang seyogyanya dipakai.
· Dinas adalah Kantor/Dinas Catatan Sipil Kabupaten/Kota………….;
· Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang ditunjuk dan bertanggung jawab untuk melakukan proses kegiatan pencatatan kelahiran dan penerbitan kutipan akta kelahiran;
· Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan;
· Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara;
· Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau badan untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perwawatan, pendidikan dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar;
· Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu asuh;
· Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak;
· Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
· Pemohon adalah orang tua, wali, atau orang tua asuh yang mengajukan permohonan pendaftarkan kelahiran dan perolehan kutipan akta kelahiran seorang anak;
· Pencatatan kelahiran adalah proses kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah atau badan/lembaga yang ditunjuk untuk membuat dokumen administrasi kependudukan dalam bentuk tulisan yang berisi identitas seorang anak secara sistematis dan terpadu;
· Akta Kelahiran adalah bukti outentik yang tercatat dalam Buku Register Umum Akta Kelahiran yang tersimpan di instansi yang berwenang dan berisi identitas kelahiran seorang anak.
· Kutipan Akta Kelahiran adalah petikan akta kelahiran sebagai alat bukti yang sah (outentik) yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang yang berisi identitas kelahiran seorang anak;
· Kutipan Akta Kelahiran Khusus adalah kutipan akta yang diberikan kepada anak dalam perlindungan khusus seperti anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok monoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
· Anak dalam situasi darurat adalah anak yang menjadi pengungsi, korban kerusuhan, korban bencana alam, dan anak dalam situasi konflik bersenjata;
· Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang menjadi pelaku dan/atau korban tindak pidana yang memerlukan bantuan dan perlindungan dari orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara;
· Anak dari kelompok monoritas dan terisolasi adalah anak yang lahir, tumbuh dan berkembang menurut budaya dan bahasanya sendiri;
· Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual adalah anak korban perlakuan semena-mena yang dalam dirinya tidak mempunyai hak tumbuh dan berkembang secara wajar;

c. “Solusi” atau “jalan tengah”.
Pencatatan kelahiran merupakan suatu kebijakan Pemerintah untuk tersedianya data kependudukan yang benar dan akurat dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pencatatan kelahiran dan penerbitan kutipan akta kelahiran merupakan dua hal yang sangat penting dalam kerangka tertib admintrasi kependudukan dan pelayanan umum.
Dari sisi kebijakan publik, pencatatan kelahiran merupakan proses kegiatan yang terus menerus harus dilakukan oleh pemerintah sebagai bagian pelayanan untuk kepentingan umum (public interest) dalam kerangka membangun sistem administrasi kependudukan yang baik, sistemastis, dan terpadu. Kebijakan pencatatan kelahiran secara sistematis, terpadu, dan terus menerus bertujuan untuk memperoleh data penduduk yang akurat dan menyeragamkan bentuk dan pola pencatatan kelahiran melalui Buku Register Umum Akta Kelahiran. Kebijakan tersebut hendaknya berjalan sesuai dengan tujuan administrasi negara bahwa bagian (sebagian) kegiatan pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan umum menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan negara.
Di sisi lain, penerbitan kutipan akta kelahiran oleh pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk pelayanan umum yang melibatkan kepentingan personal (personal interest) dari setiap warganegara Indonesia. Kutipan akta kelahiran yang diberikan merupakan hak setiap anak Indonesia sebagai bukti yang sah mengenai identitas diri dan status kewarganegaraannya. Karena perolehan kutipan akta kelahiran didasarkan atas permohonan, maka menjadi kewajiban dan tanggung jawab setiap warganegara untuk menanggung biaya adimintrasi sebagai beban ritribusi.
Akta kelahiran adalah dokumen resmi pemerintah dan negara atas identitas seseorang yang dituangkan dalam Buku Register Umum Akta Kelahiran. Dokumen tersebut dapat dipunyai oleh setiap warganegara Indonesia melalui permohonan yang diajukan, sehingga pemerintah dan negara mengeluarkan Kutipan Akta Kelahiran. Kepemilikan kutipan akta kelahiran bagi setiap warganegara sangat bermanfaat dan berguna untuk kepentingan kehidupan kelak. Dan sebaiknya biaya-biaya yang berkaitan dengan perolehan kutipan akta kelahiran diatur tersendiri melalui Peraturan Daerah. Yang dimaksud dengan “biaya administrasi sebagai masukan retribusi daerah” adalah biaya penggantian cetak atau penggandaan Kutipan Akta Kelahiran yang dibebankan kepada pemohon yang besarnya biaya tersebut ditetapkan melalui Peraturan daerah sebagai pemasukan retribusi daerah (kas daerah).
Sebagai dokumen resmi, Kutipan Akta Kelahiran dapat berfungsi sebagai berikut:
- melamar pekejaan;
- masuk atau melanjutkan sekolah/pendidikan;
- pengangkatan Pegawai Negeri Sipil,
- kenaikan pangkat,
- tugas belajar,
- pengajuan pensiun;
- untuk perkawinan atau membina keluarga baru;
- untuk kepentingan ke luar negeri;
- ….
- …..

Dengan demikian, dalam tataran konsep dan implementasi ada “jalan tengah” yang diambil dalam kebijakan pelayanan akta kelahiran ini. Disatu sisi, aktivitas public interest merupakan rutinitas kerja aparat pemerintah yang digaji oleh negara, sementara disisi lain, adanya personal interest merupakan wujud ikut sertanya warganegara dalam penyelenggaraan pemerinatahan atas terbitnya “surat” resmi dan sah (outentik) sebagai alat bukti yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Ditetapkannya Peraturan daerah tentang pencatatan kelahiran dan penerbitan kutipan akta kelahiran seperti ini, diharapkan dapat meningkatkan peran serta dari orang tua, masyarakat, dan pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan perlindungan hukum bagi masyarakat.
Rancangan peraturan daerah yang akan menjadi pedoman dalam kebijakan pelayanan akta kelahiran, seyogyanya berisi hal-hal sebagai berikut:
- Judul: Pencatatan Kelahiran dan Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran;
- Konsepsi yang jelas tentang Pencatatan Kelahiran dan Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran;
- Mekanisme pencatatan kelahiran sebagai bagian dari aktivitas public interest;
- Mekanisme Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran sebagai personal interest;
- Besarnya biaya yang harus ditanggung oleh warganegara dalam perolehan kutipan akta kelahiran sebagai bagian dari personal interestnya;
- Adanya ketentuan pidana bagi aparatur pemerintahan yang lalai dalam menjalankan kewajiban sebagai pelayan masyarakat;
- Adanya ketentuan pidana bagi masyarakat yang memberikan data kelahiran yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya (keterangan palsu).

IV. Pentingnya penyederhanaan Pelayanan Kebijakan Akta Kelahiran
- Keseragaman dan tertib adiminstrasi kependudukan;
- Tranparansi dan akuntalibitas dapat dipertanggung jawabkan;
- Tidak ada perbedaan perlakuan bagi warganegara Indonesia;
- Persyaratan lebih sederhana;
- Perbedaan public interest dan personal interest dapat diperjelas.

TATA CARA (mekanisme)
PENCATATAN KELAHIRAN DAN
peyederhanaan prosedur PENERBITAN KUTIPAN AKTA KELAHIRAN

· Pencatatan Kelahiran
(1) Pencatatan kelahiran dilakukan oleh Pejabat yang berwenang ( Registar atau pejabat Capil yang ditunjuk untuk itu) setelah menerima laporan dari pelapor;
(2) Pencatatan di selenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kalurahan/desa dan dilakukan dengan cara yang mudah, sederhana, cepat, dan tepat;
(3) Pelaporan pencatatan kelahiran dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran seorang anak;
(4) Pelaporan pencatatan kelahiran dicatat dalam (Buku) Register Akta Kelahiran;
(5) Pencatatan kelahiran tidak dikenai biaya;
(6). Pelaporan pencatatan kelahiran dapat dilengkapi dengan Surat Keterangan lahir dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran;
(7) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pencatatan kelahirannya didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya;
(7) Surat keterangan sebagai identitas anak sekurang-kurangnya memuat:
(a) Nama anak;
(b) Jenis Kelamin;
(c) Tempat lahir anak;
(d) Tanggal, bulan dan tahun lahir anak;
(e) Nama lengkap orang tua (ayah dan/atau ibu)
(f) Anak ke ...
Yang dimaksud dengan “Surat Keterangan Lahir” adalah surat tertulis yang berisi keterangan kelahiran seorang anak berupa identitas diri,
Contoh Surat ini adalah:
(a) Surat keterangan lahir dari rumah sakit, atau
(b) Surat keterangan lahir dari rumah sakit bersalin, atau
(c) Surat keterangan lahir dari rumah bersalin, atau
(d) Surat keterangan lahir dari Puskesmas, atau
(e) Surat keterangan lahir dari Dokter, atau
(f) Surat keterangan lahir dari Bidan, atau
(g) Surat keterangan lahir dari Dukun bayi, atau
(h) Surat keterangan lahir dari pilot, atau
(i) Surat keterangan lahir dari Nakhoda kapal;

1). Pencatatan kelahiran anak yang lahir karena perkawinan campuran dapat diajukan oleh ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2). Apabila terjadi perceraian yang ibunya Warga Negara Indonesia, pencatatan kelahiran dan pengurusan status kewarganegaraan Republik Indoensia anak menjadi kewajiban pemerintah.

Ø Pencatatan kelahiran anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok monoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran, menjadi tanggung jawab pemerintah, tanpa melalui proses pelaporan.

Ø Anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok monoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran, menjadi tanggung jawab pemerintah, oleh karena itu dalam hal proses pencatatan kelahirannya sebaiknya tidak diperlukan adanya pelaporan terlebih dahulu.

Persyaratan

Bila dimungkinkan tidak ada persyaratan yang memberatkan, misal perlu ada KK, KTP, atau Akte Nikah.
Persyaratan yang sederhana untuk semua bayi lahir, adalah:
1. Surat Keterangan Lahir, atau
2. surat keterangan dari penemuan yang dibuktikan dari kepolisian dan/atau kepala desa



· Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran
(1) Pemohon dapat mengajukan penerbitan Kutipan Akta Kelahiran melalui Kantor Desa/Kalurahan;
(2) Pejabat yang berwenang berkewajiban menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diajukannya permohonan;
(3) Kutipan Akta Kelahiran dapat diperoleh melalui Kantor Desa/Kalurahan setempat;

(1) Setiap pemohon Kutipan Akta Kelahiran dikenai biaya administrasi, yang besarnya ditetapkan berdasarkan peraturan yang berlaku;
(2) Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran bagi anak yang berumur kurang dari 1 (satu) tahun tidak dikenai biaya;
(3) Bagi pemohon dari keluarga tidak mampu dapat dibebaskan dari biaya administrasi berdasarkan surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa/Kelurahan;
(4) Tata cara perolehan Kutipan Akta Kelahiran sebaiknya diatur oleh Peraturan Bupati/Walikota;
(1) Kutipan Akta Kelahiran yang rusak atau hilang, dapat diterbitkan kutipan kedua dan seterusnya;
(2) Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran dikenai biaya administrasi.
(3) Perolehan Kutipan Akta Kelahiran yang rusak, harus dilengkapi persyaratan :
a. Surat Permohonan;
b. Kutipan Akta Kelahiran yang rusak;
(4). Perolehan Kutipan Akta Kelahiran yang hilang, harus dilengkapi dengan Surat pernyataan kehilangan Kutipan Akta Kelahiran.
(1) Setiap orang yang belum mempunyai Kutipan Akta Kelahiran, dapat diterbitkan kutipan akta kelahiran baru setelah ada permohonan;
(2) Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran dikenai biaya administrasi
(3) Perolehan Kutipan Akta Kelahiran harus dilengkapi dengan Surat Permohonan; dan Surat Pernyataan dari pemohon;









DIAGRAM
ALUR/PROSES PENCATATAN KELAHIRAN





DIAGRAM
ALUR/PROSES PENERBITAN KUTIPAN AKTA KELAHIRAN



V. Penutup

Demikian, sumbang saran mengenai kebijakan pelayanan akta kelahiran ini, mudah-mudahan ada manfaatnya. Terima kasih.




Mataram, Januari 2007.

M. Imam Purwadi, SH., MH
(Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Mataram,
Anggota Tim Advokasi Pembangunan Manusia Dini Propinsi NTB)

Jumat, 16 Januari 2009

HUKUM PERADILAN AGAMA

PENGANTAR
HUKUM PERADILAN AGAMA
Oleh:
M. Imam Purwadi., SH., MH
Fakultas Hukum Universitas Mataram
__________

KULIAH PERTAMA
SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

Sejak jaman kolonial Balanda sampai kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus l945 dan sebelum Undang-undang Nomor 7 tahun l989, kewenangan Peradilan Agama dalam menangani kewarisan mengalami pasang surut dalam pereodesasinya. Fakta sejarah bahwa jauh sebelum kolonial Belanda datang, di Indonesia telah terbentuk masyarakat muslim dan dalam kehidupannya lembaga peradilan agama merupakan kebutuhan kemasyarakatan. Dalam operasionalisasinya selalu ada pemuka-pemuka agama yang bertugas secara khusus untuk mu’amalat dalam bidang perkawinan, talak, rujuk, iddah, kewarisan, wasiat, seperti ditunjukkan dalam Kesultanan Aceh, Kerajaan Pasai, Jambi, Demak, Mataram, dan sebagainya. Walaupun pada masa itu secara yuridis Pengadilan Agama belum ada, tetapi secara praktis penyelesaian masalah-masalah tersebut diberikan secara tahkim dari umat Islam kepada pemuka agama di daerahnya masing-masing.[1]
Pada tahun l600 sampai dengan l800-an, sebelum Pengadilan Agama dibentuk pada tahun l882, pemerintah kolonial Belanda masih dan telah mengakui keberadaan hukum Islam serta berjalannya Peradilan Agama di masyarakat muslim Indonesia. Hal ini dapat disebutkan sebagai berikut :
a. Pada tahun l760, VOC mengeluarkan Compendium Freijer berupa suatu himpunan peraturan-peraturan hukum Islam mengenai kewarisan, nikah dan talak sesuai dengan perintah Statuten van Batavia l642, yang menyebutkan bahwa sengketa kewarisan antara orang-orang pribumi yang beragama Islam harus mempergunakan hukum Islam.[2]
b. Pada tahun l808 terdapat instruksi dari pemerintah kolonial Belanda kepada para Bupati yang menyatakan: terhadap urusan-urusan agama orang Jawa tidak akan dilakukan gangguan-gangguan, sedangkan kepala-kepala “pendeta” mereka dibiarkan untuk memutus perkara-perkara tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan, dengan syarat bahwa tidak akan ada penyalah-gunaan dan banding dapat dimintakan pada hakim banding.[3]
c. Pada tahun l823 berdasarkan Resolusi Gubernur Jenderal, tanggal 3 Juni l823 Nomor 12, diresmikan “Pengadilan Agama” di Palembang yang diketuai oleh Pangeran Penghulu dengan wewenang meliputi perkawinan, perceraian, pembagian harta, perwalian, dan perkara-perkara lainnya yang menyangkut agama.[4]
d. Pada tahun l835 dengan resolusi tanggal 7 Desember l835 yang dimuat dalam S. l835: 20, dinyatakan: apabila terjadi sengketa orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang harus diputus menurut hukum-hukum Islam. maka para “pendeta” memberi keputusan, akan tetapi gugatan untuk mendapat pem-bayaran yang timbul dari keputusan para “pendeta” itu harus dimajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa.[5]
Selanjutnya perkembangan lembaga “tahkim” tersebut mencapai bentuknya dengan pemerintah kolonial Belanda meresmikan Peradilan Agama dengan nama Priesterrad (majlis atau pengadilan pendeta) pada tahun l882.
Di bawah ini, perkembangan kewenangan Peradilan agama dalam bidang kewarisan dengan bermacam-macam peraturan.
a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (S. l882: 152 jo S. l937: 116 dan 610)
Wewenang Peradilan agama menurut S. l882: 152 tidak ditentukan secara jelas. Oleh karena demikian adanya, maka Pengadilan Agama sendirilah yang menentukan perkara-perkara yang dipandangnya termasuk ke dalam lingkungan kekuasaannya, yakni perkara-perkara yang berhubungan dengan pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, shadaqah, baitulmal, dan wakaf.[6] Sedangkan menurut Sajuti Thalib, wewenang Pengadilan Agama tersebut tetap berlaku pasal 78 ayat (2) R.R. yang dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia, tunduk pada putusan hakim agama menurut peraturan agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka.[7]
Selanjutnya pada tahun l929, dengan S. 1929: 221 hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Hal ini ditandai dengan perubahan pasal 134 ayat (2) I.S. l925 yang masih sesuai dengan pasal 78 ayat (2) R.R. menjadi pasal 134 ayat (2) S. 1929: 221, yang berbunyi dalam hal terjadi sengketa perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi.[8] Ini berarti hukum Islam tidak berlaku lagi di Indonesia kecuali untuk hal-hal yang dikehendaki oleh hukum Adat. Hubungannya dengan Peradilan Agama, perubahan pasal 134 ayat (2) I.S. l925 menjadi pasal 134 ayat (2) S. 1929: 221 menjadi dasar terbentuknya S. l937: 116 jo 610. Menurut staatsblad tersebut Peradilan Agama di Jawa dan Madura hanya berwenang mengadili perkara perkawinan saja, sedangkan perkara kewarisan dicabut dan diserahkan wewenangnya kepada Pengadilan Negeri.[9]
b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residen Kalimantan Selatan dan Timur (S. l937: 638 dan 639)
Dalam peraturan ini, Kerapatan Qadi tidak mempunyai kewenangan mengadili perkara kewarisan. Perkara kewarisan diserahkan dan menjadi wewenang Pengadilan Negeri. Menurut staatsblad tersebut Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar semata-mata hanya berkuasa memeriksa perselisihan antara suami-isteri yang beragama Islam, yakni mengenai nikah, talak, rujuk dan perceraian dengan perantaraan hakim agama, sedangkan mengenai tuntutan pembayaran uang dan pemberian benda-benda atau barang-barang tertentu harus diperiksa dan diputus oleh hakim biasa. [10]
Penghapusan wewenang Pengadilan Agama mengadili perkara kewarisan, berkaitan erat dengan kebijakan politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang menghendaki berakhirnya hukum Islam bagi orang-orang Indonesia yang beragama Islam. Hal itu, menurut Sajuti Thalib, berdasarkan pasal 134 ayat (2) S. 1929: 221 di atas, menjadi sumber formal teori receptie.[11]
c. Peraturan Pemerintah Nomor: 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura (L.N. l957: 99)
Pasal 4 ayat (1) peraturan tersebut menegaskan, bahwa:
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami-isteri yang beragama Islam dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, mas kawin (mahar), tempat kediaman (maskan) dan sebagainya, hadhanah, perkara waris mal waris, wakaf, hibah, shadaqah, baitulmal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta’liq sudah berlaku.[12]
Pasal tersebut menegaskan bahwa perkara kewarisan menjadi kewenangan Pengadilan agama di luar Jawa dan Madura.
Berlakunya ketentuan-ketentuan tersebut di atas, menggambarkan adanya keanekaragaman peraturan yang mengatur lembaga Pengadilan agama di Indonesia. Berdasarkan ketentuan S. 1882 : 152 jo S. 1937: 116 dan 610, Peradilan Agama di Jawa dan Madura hanya mempunyai wewenang mengadili perkara yang berhubungan dengan perkawinan. Sedangkan perkara kewarisan dicabut oleh staatsblad tersebut dan selanjutnya menjadi wewenang Pengadilan Negeri. Demikian pula menurut S. 1937 : 638 dan 639, kerapatan Qadi dan kerapatan Qadi Besar di sebagian Kalimantan Selatan dan Timur hanya mempunyai wewenang mengadili perkara perselisihan antara suami-isteri yang beragama Islam tanpa kewenangan mengadili perkara kewarisan. Tetapi sebaliknya menurut PP No. 45 Tahun l957, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura dan sebagian Kalimantan Selatan dan Timur mempunyai kewenangan memeriksa perkara kewarisan disamping perkara-perkara perdata lainnya.
Perbedaan yurisdiksi (kewenangan) Peradilan Agama menyangkut perkara kewarisan yang didasarkan pada peraturan-peraturan tersebut di atas, membedakan perlakuan masyarakat muslim di Jawa dan Madura, sebagian Kalimantan Selatan dan Timur dengan masyarakat muslim yang ada di luar Jawa dan Madura serta sebagian Kalimantan selatan dan Timur. Masyarakat muslim yang ada di pulau Jawa, Madura dan sebagian Kalimantan selatan dan Timur, dalam penyelesaian perkara kewarisannya diterapkan hukum kewarisan Adat yang dimasukkan dalam yurisdiksi Pengadilan Negeri, sedangkan di daerah lain, dalam penyelesaian perkara kewarisannya, diterapkan hukum kewarisan Islam yang menjadi yurisdiksi Pengadilan Agama.[13]
Perbedaan yurisdiksi peradilan agama tersebut akhirnya dicabut oleh Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diundangkan pada tanggal 29 Desember l989 dalam Lembaran Negara Nomor 49 tahun l989. Pengesahan undang-undang tersebut merupakan tonggak sejarah bagi umat Islam Indonesia dan pembangunan perangkat hukum nasional. Sebabnya adalah, dengan disahkannya undang-undang itu semakin mantaplah kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di Indonesia dalam menegakkan hukum berdasarkan hukum Islam bagi pencari keadilan mengenai perkara-perkara (perdata) di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah yang telah menjadi hukum positif di Indonesia.[14]
Dengan Undang-undang Peradilan Agama (UUPA) tersebut, masyarakat muslim yang menjadi bagian terbesar penduduk Indonesia diberi kesempatan untuk mentaati hukum Islam sesuai dengan jiwa pasal 29 Undang-Undang Dasar l945 terutama ayat (2) nya.
Pengesahan UUPA bertujuan untuk (1) mempertegas kedudukan dan kekuasaan Peradilan agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang mandiri, (2) menciptakan kesatuan hukum Peradilan agama, dan (3) memurnikan fungsi Peradilan Agama.
1) Mempertegas kedudukan dan kekuasaan Peradilan Agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang mandiri
Konsideran (c) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 merumuskan bahwa “salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum adalah melalui Peradilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 tahun l970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman”.
Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu”. Kedua rumusan tersebut mempertegas kedudukan dan fungsi Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dan sederajat dengan Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan pasal 10 Undang-undang Nomor 14 tahun l970.
Dalam hal ini pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun l989 menjelaskan bahwa “kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi”.
2) Menciptakan kesatuan hukum mengenai Peradilan Agama
Konsideran (d) Undang-undang Nomor 7 tahun l989: “... perlu segera diakhiri demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam rangka sistem dan tata hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar l945”.
Dengan pengesahan Undang-undang Nomor 7 tahun l989, bertujuan menciptakan kesatuan hukum di lingkungan Peradilan Agama yang meliputi susunan, kekuasaan dan hukum acara sampai kesatuan landasan hukum dan keseragaman kewenangan (yurisdiksi). Kesatuan dan keseragaman kewenangan (yurisdiksi) Peradilan Agama ditegaskan dalam Bab III (kekuasaan pengadilan) yang dirinci dalam pasal 49, yaitu Peradilan Agama berwenang menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a. perkawinan.
b. kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
c. wakaf dan shadaqah.
3) Memurnikan fungsi Peradilan Agama
Selain tujuan di atas, Undang-undang Nomor 7 tahun l989, bertujuan untuk memurnikan dan sekaligus menyempurnakan fungsi dan susunan organisasi Peradilan Agama agar dapat mencapai tingkat sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang sebenarnya.[15] Dengan tujuan tersebut berarti wujud keberadaan Peradilan Agama benar-benar sebagaimana layaknya badan peradilan yang murni dan lengkap susunan serta kekuasaannya. Peradilan Agama tidak lagi sebagai “peradilan semu” seperti yang sudah berjalan ratusan tahun. Kesemuan peradilan agama itu tampak dalam melaksanakan fungsinya.
Jauh sebelum ada Undang-undang Nomor 7 tahun l989, tepatnya mulai tahun l882 dengan S. l882: 152, Peradilan agama telah mempunyai kewenangan memeriksa perkara-perkara yang ada hubungannya dengan nikah, talak, rujuk, perwalian, kewarisan, wakaf dan segala hal yang dipandang erat hubungannya dengan agama Islam. Namun dalam pelaksanaannya, putusan Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan untuk dipaksakan berlakunya. Putusan Pengadilan Agama harus dimintakan executoir verklaring atau pengukuhan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Hal itu karena Pengadilan Agama tidak memiliki perangkat pejabat juru sita. Akibatnya, Pengadilan Agama menjadi “pengadilan semu”, tidak mandiri dalam melaksanakan putusan-putusannya. Ketiadaan pejabat juru sita menyebabkan setiap putusan Pengadilan Agama perlu dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri, baru kemudian dapat dilaksanakan.
Dengan pengesahan Undang-undang Nomor 7 tahun l989, ketergantungan Pengadilan Agama kepada Pengadilan Negeri selama ratusan tahun tersebut, diakhiri. Undang-undang tersebut telah memurnikan kembali fungsi Peradilan Agama dengan melengkapi susunan dan kekuasaan Peradilan Agama. Perangkat pejabat juru sita diatur dengan jelas dalam undang-undang tersebut. Kini, Peradilan Agama tidak lagi “peradilan semu”, tetapi telah benar-benar menjadi peradilan mandiri yang dapat melaksanakan semua putusan-putusannya.
[1] Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia: Suatu studi tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, (alih bahasa: H. Zaini Ahmad Noeh), Jakarta: Intermasa, l980, hal. 2. H. Mohammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan Risalah, l984, hal. 8-10. H. Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, l995, hal. 4.
[2] Ali, Kedudukan ..., Ibid., hal. 11. Lihat juga, Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Pradnja Paramita, l981, hal. 61.
[3] H. Idris Djakfar dan Taufik Yahya, op. cit., hal. 5.
[4] Ibid. Lihat juga, H. Munawir Sadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum dalam rangka menentukan Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, l99l, hal. 43.
[5] Djakfar dan Yahya, Ibid.
[6] Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Bp. Gadjah mada, l969, hal. 10.
[7] Sajuti Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, Jakarta: Bina Aksara, l985, hal. 14-18.
[8] Ibid., hal. 38.
[9] Djakfar dan Yahya, ibid., hal. 6.
[10] Ibid.
[11] Thalib, Receptio ..., op. cit.
[12] H.M. Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, l982, hal. 50.
[13] M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 29.
[14] Lihat, H. Mohammad Daud Ali, Asas-asas ..., op. cit., hal. 255.
[15] Ibid., hal. 32.
Mataram, 17 Januari 2009
hak cipta ada pada m. imam purwadi

HUKUM PIDANA ISLAM

PENGANTAR HUKUM PIDANA ISLAM
Oleh:
M. Imam Purwadi, SH., MH
Fakultas Hukum Universitas Mataram
-------------------


KULIAH KEDUA

HAK – HAK YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM PIDANA ISLAM

Hak Allah dan Hak Manusia, (Ar.: al-haqq Allah; dan al-haqq al-‘ibad). Secara etimologi mengandung pengertian yang banyak dan bermacam-macam, namun semuanya mengacu kepada arti ketetapan dan kepastian, seperti milik, bagian, keadilan, kewenangan, kebenaran, dan lain-lain.
Ulama fikih menyatakan bahwa al-haqq (hak) merupakan hubungan spesifik antara pemegang atau pemilik hak dan kemaslahatan yang diperoleh dari hak itu. Hubungan tersebut dalam syariat Islam tidak bersifat alamiah, yang bersumber dari alam atau ketetapan akal manusia. Sumber hak adalah Allah SWT, karena Allah SWT adalah pembuat syariat, undang-undang dan hukum atas manusia dan seluruh alam. Oleh karena itu, hak selalu terkait dengan kehendak Allah SWT dan merupakan pemberian-Nya, yang dapat diketahui berdasarkan sumber hukum Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw.
Pembagian Hak. Ditinjau dari segi kepemilikannya, hak dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1) hak Allah SWT murni; 2) hak manusia murni; 3) hak yng didalamnya tergabung hak Allah SWT dan hak manusia, namun hak Allah SWT lebih dominan; dan 4) hak yang di dalamnya tergabung dua hak tersebut, namun hak manusia lebih doninan.
Hak Allah Murni, ialah sesuatu yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, mengagungkan-Nya, dan menegakkan syiar agama-Nya; atau sesuatu yang dimaksudkan untuk mewujudkan kepentingan, manfaat, dan kemaslahatan orang banyak tanpa kekhususan pada orang tertentu. Hak tersebut dinisbahkan kepada Allah SWT, karena besarnya kepentingan hak itu dan keumuman manfaatnya. Dengan kata lain, hak tersebut merupakan hak masyarakat dan pensyariatan hukumnya dimaksudkan untuk kemaslahatan umum, hukan untuk kemaslahatan inidividu secara khusus. Hak tersebut bertalian dengan ketertiban umum.
Menurut Mazhab Hanafi, hak Allah SWT ini dapat dikelompokkan pada delapan macam sebagi berikut.
1) Ibadah murni, seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat, salat lima waktu sehari semalam, puasa bulan Ramadan, Zakat harta, dan haji di Baitullah. Ibadah tersebut dimaksudkan untuk menegakkan syiar agama dan sekaligus untuk menjaga ketertiban dan keteraturan masyarakat.
2) Ibadah yang mengandung makna ma’unah, yakni pertolongan ynag diberikan untuk memelihara jiwa dan harta. Misalnya, zakat fitrah disebut ibadah, karena dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan bentuk memberi pertolongan kepada fakir miskin. Oleh karena itu, untuk menunaikan ibadah semacam ini disyaratkan niat. Makna ma’unah tersebut merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil tanah yang tetap produktif di tangan pemiliknya.
3) Ma’unah (pertolongan) yang mengandung makna ibadah, seperti mengeluarkan sepersepuluh atau seperduapuluh dari hasil bumi. Pengeluraran ma’unah tersebut merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil tanah yang tetap produktif di tangan pemiliknya.
4) Ma’unah yang mengandung makna hukuman (uqubah) seperti pengenaan pajak atas nonmuslim. Pengenaan pajak tersebut dimaksudkan sebagai imbalan terhadap tanah produktif yang tetap mereka garap dan terpelihara dari berbagai bentuk kezaliman. Ma’unah sebagai hukuman merupakan ganti rugi atas kewajiban jihad yang tidak dibebankan kepada mereka.
5) Uqubah (hukuman) murni, seperti hukuman terhadap pelaku perzinaan, pencurian, meminum minuman keras, dan lainnya. Hukuman tersebut merupakan hak Allah SWT murni, karena persyaratannya dimaksudkan untuk memaslahatan umum dan menjaga ketertiban masyarkat. Oleh karena itu, hukuman tersebut tidak dapat digugurkan atau dimaafkan oleh siapapun dan dilaksanakan oleh lembaga pengadilan sebagai kepanjangan tangan pemerintah.
6) Hukuman terbatas, seperti terhalangnya seorang pembunuh dari hak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. Terhalangnya hak mewarisi itu merupakan bentuk hukuman sebagi pembalasan terhadap pembunuhan yang dilakukannya. Hanya saja balasan itu tidak terkait deng fisik pembunuh atau pengurangan harta bendanya. Hukuman ini merupakan hak Allah SWT , karena dimaksudkan untuk kepentingan umum dan memelihara ketertiban, yaitu mencegah ketamakan untuk memeperoleh harta warisan dan pewarisnya sebelum saatnya tiba.
7) Hukuman yang mengandung makna ibadah, yaitu semua hak yang berkisar antara ibadah dan hukuman, seperti kafarat sumpah, kafarat zihar (menyamakan istri dengan ibu kandung), kafarat membunuh karena tersalah dan lainnya. Sisi ibadah dalam kafarat-kafarat itu lebih kuat. Kecuali kafarat berbuka puasa Ramadhan dengan sengaja tanpa alasan syar’i; untuk kafarat ini sisi hukuman lebih menonjol. Hak Allah SWT tersebut mengandung makna ibadah karena dilaksanakan dalaam benutk ibadah, seperti berpuasa, memerdekakan hamba sahaya, atau memberi makanan kepada fakir miskin yang harus dilaksanakan langsung oleh seseorang yang melakukan pelanggaran tersebut sebagimana dalam ibadah pada umunya. Kandungan makna hukuman pada hak ini terletak pada kewajibannya sebagai balasan terhadap perbuatan yang dilanggarnya supaya tidak diulanginya kembali. Oleh karena itulah, hukuman tersebut disebut kafarat, artinya penutup atau penghapus dosa.
8) Hak Allah SWT yang berdiri sendiri, tidak bertalian dengan tanggung jawab manusia sebagai hamba-Nya yang wajib dilaksanakan sebagai kepatuhan kepada-Nya . Hak tersebut di antaranya seperlima hasil rampasan perang (ganimah), harta karun yang terpendam yang ditemukan, dan hasil penambangan. Pengeluaran hak Allah SWT tersebut tidak disyaratkan niat, karena tidak termasuk ibadah. Harta yang seperlima tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan dan kepentingan umum.
Berdasarkan kesepakatan ulama fikih, hukum yamg terkait dengan hak-hak Allah SWT tersebut adalah sebagai berikut .
Pertama, tidak boleh digugurkan, baik dengan pemaafan, perdamaian, atau pelepasan hak itu. Hak tersebut juga tidak boleh diubah, baik dengan pengurangan atau penambahan atau penggantian dalam bentuk lain. Oleh karena itulah hukuman pencurian tidak dapat gugur disebabkan adanya maaf dari orang hartanya dicuri, atau tercapainya perdamaian antara pencuri dengan pemilik harta setelah perkaranya diajukan ke muka hakim .
Kedua, hak tersebut tidak dapat diwarisi. Ahli waris tidak berkewajiban melaksanakan hak-hak Allah SWT yang tidak dikerjakan oleh pewarisnya sebelum meninggal dunia, kecuali apabila pewaris telah mewasiatkan untuk mengeluarkannya, seperti wasiat untuk mengeluarkan zakat yang belum dibayarnya. Ahli waris juga tidak bertanggung jawab atas tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan oleh pewarisnya .
Ketiga, berlaku keterpaduan antara hukuman yang menjadi hak Allah SWT. Seseorang yang berzina beberapa kali atau mencuri berkali-kali, namun belum dikenakan hukuman, maka cukup dihukum sekali saja atas dosa-dosanya yang berkali-kali itu, karena maksud hukuman itu adalah membuatnya jera dan tidak kembali mengerjakan kejahatannya. Tujuan itu dapat terwujud dengan hukuman sekali saja. Pelaksanaan hukuman tersebut adalah kewenangan pemerintah .
Hak Manusia, yaitu suatu hak yang di maksudkan untuk memelihara kemaslahatan dan kepentingan perorangan, baik yang bersifat umum maupun khusus. Hak yang bersifat umum, seperti pemeliharaan kesehatan anak dan harta benda, serta terwujudnya keamanan dan penikmatan sarana umum milik agama. Hak yang bersifat khusus, seperti hak penjual menerima pembayaran atas barang yang dijualnya, hak pembeli atas barang yang dibelinya, hak seseorang untuk mendapatkan ganti rugi atas barang yang dibelinya, hak seseorang untuk mendapatkan ganti rugi atas harta bendanya yang dirusak orang lain, hak istri untuk mendapatkan nafkah lahir dan batin dari suaminya, hak ibu untuk memelihara anaknya yang masih kecil (hadlanah), hak bapak untuk menjadi wali anaknya, dan lain sebagainya.
Hukum yang terkait dangan hak manusia ini, antara lain ialah pemiliknya dibolehkan melepaskan dan mengugurkan haknya dengan cara pemaafan, perdamaian atau membebaskan tanggungan atas seseorang, atau membolehkannya kepada siapapun. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap hak ini merupakan kezaliman. Allah SWT tidak akan menerima tobat seseorang yang melanggarnya kecuali pemilik hak memaafkanya atau hak itu dikembalikan oleh pelanggar kepadanya. Pada hak ini berlaku pewarisan oleh keluarga dekatnya sesuai aturan yang berlaku dalam hukum waris. Kemudian tidak berlaku keterpaduan pada hak ini. Maksudnya hukum yang terkait dengan hak perseorangan berlaku secara ketat, tidak ada penggabungan dan pemenuhan hak itu berkaitan langsung dengan pemilik hak atau walinya.
Hak yang di dalamnya tergabung Hak Allah SWT dan Hak Manusia, namun Hak Allah SWT lebih dominan.
Misalnya, iddah perempuan yang di ceraikan. Di dalamnya terdapat hak Allah SWT yang berbentuk kepentingan dan kemaslahatan umum, yaitu memelihara nasab (keturunan) secara umum dari percampuran. Adapun hak manusia yang ada di dalamnya ialah pemeliharaan kemurnian anak mantan suami secara khusus dari percampuran dengan nasab orang lain jika mantan istri kawin dengan laki-laki lain sebelum habis masa iddahnya. Hak Allah SWT dalam hal ini lebih dominan, karena pemeliharaan nasab secara umum berkaitan langsung dengan persoalan sosial, tatanan, dan ketertiban. Kemaslahatan yang terkait adalah pemeliharan masyarakat dari berbagai kekacauan dan dekadensi. Contoh lain ialah poemeliharaan manusia terhadap kehidupanya, akalnya, kesehatannya, dan harta bendanya. Didalamnya juga terdapat dua hak namun hak Allah SWT lebih dominan, karena keumuman manfaat pemeliharaan itu kembali pada masyarakat secara keseluruhan. Adapun hukum yang terkait dengan hak-hak ini sama dengan hak Allah SWT lebih dominan.
Hak yang di dalamnya tergabung Hak Allah SWT dan Hak Manusia, namun Hak manusia lebih dominan.
Misalnya, adalah kisas (pembunuhan) terhadap pembunuh dalam pembunuhan sengaja. Adanya kemaslahatan umum dalam kisas, yaitu memelihara darah, menjaga keamanan, dan memperkecil tindak pidana dan kejahatan, maka kisas merupakan hak Allah SWT. Sebagai hak manusia, kisas mewujudkan kemaslahatan wali orang yang terbunuh, menyembuhkan sakit hatinya, serta memadamkan api kemarahan dan dendamnya terhadap pembunuh. Syariat islam memandang aspek ini lebih berat, sehingga hak manusia dianggap lebih dominan dan hak Allah SWT. Oleh karena itu, wali korban sebagai pemilik hak, disamping berhak menuntut kisas, diperkenankan untuk memaafkan pembunuh sehingga hukuman kisas tidak dilaksanakan. Selajutnya mereka dapat berdamai dengan pembayaran diat (tebusan/denda), bahkan hal ini dianjurkan oleh Allah SWT dalam Q.S. al-Baqaarah (2) ayat 178:
“…Maka barang siapa yang mendapatkan pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula…”
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan mana di antara dua hak itu yang lebih dominan, ketika nas tidak menejelaskannya. Misalnya hukuman terhadap tindak pidana qazf (menuduh orang lain berbuat zina) merupakan hak Allah SWT jika dilihat dari segi kemanfaatan dan kemaslahatan umum yang ada di dalamnya, yaitu memelihara kehormatan manusia pada umumnya dan memberantas kerusakan dan kejahatan dalam masyarakat. Kemudian ditinjau dari segi menolak aib orang yang dituduh berbuat zina dan mengembalikan kehormatannya, maka hukuman itu merupakan hak manusia perseorangan
Menurut ulama Mazhab Hanafi, dalam kasus seperti ini, hak Allah SWT lebih nyata dan dominan. Oleh karena itu, hukumannya tidak dapat digugurkan disebabkan kemaafan yang diberikan oleh yang dituduh, sementara pelaksanaanya berada di tangan pemerintah, yaitu lembaga peradilan. Namun, menurut Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanbali, dan satu riwayat dari Imam Malik, dalam kasus qazf ini hak manusia lebih dominan. Oleh karena itu, hukumannya dapat digugurkan oleh pemaafan orang yang dituduh berzina.
HAK ASASI . Dalam bahasa Indonesia hak asasi dijelaskan sebagai hak yang dasar atau pokok, seperti hak hidup dan hak mendapat perlindungan. Ide hak-hak asasi manusia timbul pada abad ke-17 dan ke-18, sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja dan kaum feodal di zaman itu tehadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan sebagai lapisan bawah. Lapisan bawah tidak mempunyai hak-hak. Mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang, sebagai budak yang dimiliki. Sebagai reaksi terhadap keadaan yang pincang ini, timbullah gagasan supaya lapisan bawah itu-karena mereka adalah manusia juga diangkat derajatnya dari kedudukan budak menjadi sama dengan lapisan atas. Muncullah ide untuk menegakkan hak-hak asaasi manusia (HAM). Semua manusia sama, tidak ada budak yang dimiliki; semua merdeka dan bersaudara.
Namun, jauh sebelum abad ke –17 dan ke –18, telah dikenal berbagi aturan yang mengatur tentang hak-hak asasi manusia. Dalam Kode Hukum Hammurabi, Raja Babylonia (abad ke-18 SM), misalnya, ada indikasi yang membenarkan bahwa dalam masyarakat manusia di dunia Barat telah mulai tumbuh kesadaran akan martabat dan harkat dirinya, sehingga Kode Hukum Hammurabi sengaja diundangkan untuk memberantas kecongkakan sebagian manusia atas sesamanya dan membawa keadilan bagi seluruh masyarakat.
Dalam hukum ini dijelaskan bahwa hukuman pembalasan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Kedudukan dan kebebasan kaum wanita diakui sama dengan kaum lelaki. Pihak suami dan istri tidak boleh menggagalkan perkawinan yang sudah dijalaninya atau yang sedang berlangsung. Adapun bagi pelaku zina dikenakan hukuman mati. Seseorang akan dikenakan sanksi pidana apabila ia membangun rumah sedemikian gegabahnya, sehingga runtuh dan menyebabkan orang lain cedera.
Pada zaman Yunani Kuno, Plato (42-347 SM) telah memaklumkan kepada warganya, bahwa kesejahteraan bersama baru tercapai kalau setiap warganya melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Juga Aristoteles (384-322 SM) seringkali memberikan wejangan kepada para pengikutnya bahwa negara yang baik adalah negara yang sering memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat banyak.
Dalam akar budaya masyarakat Indonesia pun, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan martabat manusia sudah mulai berkembang. Misalnya, dalam masyarakat Jawa kuna telah dikenal istilah “Hak Pepe”, yaitu hak warga desa yang diakui dan dihormati oleh penguasa setempat, seperti hak mengemukakan pendapat, walaupun hak tersebut bertentangan dengan kemauan penguasa.
Piagam Madinah juga mengatur tentang hak-hak asasi manusia (HAM). Dalam Piagam ini dijelaskan bahwa umat Islam diikat dengan tali ikatan agama, bukan berdasarkan suku, asal-ususl, ras dan kedudukan sosial (pasal 1). Kaum Yahudi adalah salah satu umat yang peralel, berdampingan dengan kaum mukmin, dan bebas menjalankan agama mereka, seperti halnya kaum muslim (pasal 25). Orang Yahudi juga berhak mendapat pertolongan dan santunan, sepanjang hak-hak kaum muslim tidak terganggu (pasal 16). Sesama muslim tidak boleh saling membunuh (pasal 14). Tidak ada perbedaan di antara suku-suku yang ada mereka sederajat (pasal 26-35).
Bagi bangsa Indonesia, menurut Nurcholish Madjid, perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia (HAM) adalah kewajiban bersama. Hal ini sesuai dengan tuntutan nilai-nilai falsafah Pancasila. Semua sila dalam falsafah itu melahirkan kewajiban untuk menegakkan hak-hak asasi, khususnya sila “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Namun, dalam kenyataannya, kesadaran tentang HAM dikalangan masyarakat luas masih merupakan masalah .
Dalam UUD 1945 juga dijelaskan beberapa prinsip dasar tentang HAM . Pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 misalnya, dinyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan karenanya segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Hak-hak tiap warga negara sama didepan hukum, hak atas pekerjaan dan penghitungan yang layak (pasal 27), hak kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran, baik lisan maupun tulisan (pasal 28), kebebasan dalam beragama (pasal 29), hak mendapatkan pendidikan (pasal 31, dan hak untuk mendapatkan layanan dan perlindungan kesejahteraan sosial (pasal 34) .
Ide hak-hak asasi manusia juga terdapat dalam Islam. hal ini dapat dilihat dalam ajaran tauhid. Tauhid dalam Islam, menurut Harun Nasution, mengandung arti bahwa yang ada hanya satu pencipta bagi alam semesta. Ajaran dasar pertama dalam Islam adalah la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah SWT, tiada Pencipta selain Allah SWT). Seluruh alam dan semua yang ada diatas, dipermukaan, dan di dalam bumi adalah ciptaan Yang Maha Esa. Semuanya; manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda tak bernyawa berasal dari Yang Maha Esa .
mataram, 17 Januari 2009
m. imam purwadi

HUKUM PIDANA ISLAM

KULIAH
PENGANTAR HUKUM PIDANA ISLAM
oleh:
M. Imam Purwadi, SH., MH
Fakultas Hukum Universitas Mataram
--------------------

KULIAH PERTAMA:

PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA ISLAM

Jarimah (ar: al-jarimah = delik atau perbuatan pidana atau tindak pidana). Perbuatan yang dilarang syarak dan pelakunya diancam oleh Allah dengan hukuman hadd (bentuk tertentu) atau takzir (pelanggaran yang jenis dan bentuk hukumannya di delegasikan syarak kepada hakim/penguasa). Yang dimaksud dengan larangan syarak adalah melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman oleh syarak atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan dan diancam hukuman oleh syarak bagi yang meninggal.
Fikih Jinayah. Sebagian ahli fikih mengidentikkan jarimah dengan jinayah (al-jinayah). Secara etimologi al-jinayah berarti perbuatan pidana yang dilakukan seseorang dan hasil yang diakibatkannya. Oleh sebab itu, jinayah bersifat umum, meliputi seluruh perbuatan pidana. Berdasarkan pengertian inilah ulama fikih menggunakan istilah “fikih jinayah” sebagai salah satu bidang ilmu fikih yang membahas persoalan perbuatan pidana beserta hukumannya. Menurut Abdul Qadir Audah, dalam terminologi syarak jinayah mengandung bahasan perbuatan pidana yang luas, yaitu pelanggaran terhadap jiwa, harta atau yang lainnya. Jumhur ulama, menggunakan istilah jinayah untuk pelanggaran yang menyangkut jiwa dan anggota badan, yaitu pembunuhan, pemukulan, dan ijhad.
Sedangkan, sebagian ulama lainnya, membatasi pengertian jinayah pada jarimah hudud dan jarimah kisas. Dengan demikian, istilah jarimah dan jinayah dalam terminologi syarak adalah sama. Oleh karena itu, penamaan fikih jinayah sebagai bidang ilmu yang membahas berbagai bentuk perbuatan/tindak pidana dalam Islam dewasa ini adalah benar, dan sejalan dengan pengertian dan kandungan jarimah.
Al-Qanun al-Jaza’i. Undang-undang yang mengatur balasan atau hukuman terhadap perbuatan pidana. Al-qanun al-jaza’i disebut juga al-qanun al-‘uqubat (dari kata al-‘uqubah yang berarti hukuman). Undang-undang ini termasuk kedalam hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dan negara sebagai pemegang kekuasaan. Dalam fikih Islam, pembahasan al-qanun al-jaza’i termasuk kedalam ruang lingkup fikih jinayah, karena secara khusus undang-undang ini mengatur tentang hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana (jarimah). Tujuannya adalah untuk melindungi anggota masyarakat dari kejahatan orang lain.
Ruang Lingkup. Persoalan yang dibahas dalam al-qanun al-jaza’i mencakup segala perbuatan/tindak pidana (delik) yang dilarang syariat Islam dan hukuman (sanksi) yang dijatuhkan terhadap pelakunya. Perbuatan/tindak pidana tersebut dapat diklasifikasi atas tiga macam, yaitu jarimah hudud, kisas/diat dan takzir. Masing-masing mempunyai sanksi atau ancaman hukuman yang berbeda-beda.
Hudud (bentuk jamak dari hadd = batasan) adalah ketentuan perbuatan pidana yang telah ditetapkan Allah tentang macam, batasannya, dan sanksi hukuman terhadap pelanggarnya. Yang termasuk dalam jarimah hudud antara lain pencurian (QS.5:38); zina (QS.24:2); dan menuduh orang lain berzina (QS.24:4). Terhadap ketentuan ini umat Islam hanya melaksanakannya saja sesuai yang dijelaskan nas.
Kisas/diat adalah perbuatan pidana yang juga ditentukan macamnya oleh Allah, tetapi pelaksanaanya diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Jadi manusia memiliki dan mempunyai alternatif untuk memilih jenis hukuman yang akan dijatuhkan terhadap pelaku perbuatan pidana tersebut. Kisas/diat berhubungan dengan masalah jiwa dan raga seseorang, seperti pembunuhan dan penyiksaan. Dalam hal ini, apabila terjadi pembunuhan terhadap seseorang, maka keluarga korban berhak memilih alternatif hukuman, yakni menuntut balas terhadap pelaku dengan hukuman yang serupa (kisas) atau meminta denda sebagai penyesalan dari pihak pelaku kepada keluarga korban (diat). Bahkan kalau keluarga korban memaafkan pelaku tanpa menuntut balasan apa-apa, maka pelaku terbebas dari saksi hukuman (QS.2:178).
Takzir adalah ketentuan hukuman berbentuk pengajaran yang tidak dijelaskan secara tegas oleh nas, tetapi perlu dijatuhkan terhadap pelaku. Menurut ulama fikih, yang berhak untuk menentukan hukuman takzir ini adalah pemerintah. Hukuman ini dijatuhkan berdasarkan pertimbangan ketertiban dan kemaslahatan masyarakat. Jadi, hukuman takzir sebenarnya cukup luas. Selain yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan sunah, pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan hukuman takzir terhadap pelaku perbuatan pidana yang bukan termasuk hudud dan kisas/diat. Sebagai ‘ulill-amri, pemerintah berhak memutuskan sesuai dengan pertimbangan situasi dan kondisi masyarakatnya. Di sinilah peluang pemerintah untuk merumuskan undang-undang hukum pidana yang dengan semangat nas.
Karena itu, dalam perumusan undang-undang hukum pidana Islam perlu ijtihad oleh pemerintah. Namun demikian, ada kaidah atau asas yang perlu diperhatikan dalam perumusan hukum pidana ini. Pertama, asas bahwa hukuman tidak dapat berlaku surut kebelakang. Artinya, tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dihukum kecuali ada undang-undang yang mengaturnya. Ini disebut juga dengan asas legalitas. Jadi, pebuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh undang-undang tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Kedua, asas bahwa pemerintah tidak dapat menafsirkan secara luas nas al-Qur’an maupun as-Sunnah yang berkaitan dengan hukum pidana. Pemerintah tidak boleh menerima pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pidana Islam.
Perkembangannya dalam Islam. Pada awal sejarah Islam, undang-undang hukum pidana langsung merujuk kepada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Di samping itu, Nabi Muhammad Saw. juga bertindak sebagai hakim yang memutuskan perkara yang timbul dalam masyarakat. Dalam perkara pidana, Nabi Saw. memutuskan bentuk hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana sesuai dengan wahyu Allah. Setelah Nabi Saw. wafat, tugas kepemimpinan masyarakat dan keagamaan dilanjutkan oleh “al-Kulafa’ar-Rasyidun” sebagai pemimpin umat Islam, yang memegang kekuasaan sentral. Masalah pidana tetap dipegang oleh khalifah sendiri.
Dalam memutuskan suatu perkara pidana, khalifah langsung merujuk kepada al-Qur’an dan sunah Nabi Saw. Apabila terdapat perkara yang tidak dijelaskan oleh kedua sumber tersebut, khalifah mengadakan konsultasi dengan sahabat lain. Keputusan ini pun diambil berdasarkan ijtihad. Pada masa ini belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang tertulis selain al-Qur’an .
Pada era Bani Umayyah (661-750) peradilan dipegang oleh khalifah. Untuk menjalankan tugasnya, khalifah dibantu oleh ulama mujtahid. Berdasarkan pertimbangan ulama, khalifah menentukan putusan peradilan yang terjadi dalam masyarakat. Khalifah yang pertama kali menyediakan waktunya untuk hal ini adalah Abdul Malik bin Marwan (26 H - 86 H/647 M -705 M). Kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (63 H – 102 H/682 M - 720 M). Pada masa ini, belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang bersifat khusus. Pedoman yang dipakai adalah al-Qur’an, sunah Nabi Saw., dan ijtihad ulama. Pengaruh pemikiran asing juga belum memasuki pemikiran pidana Islam
Perubahan terjadi pada abad ke-19 ketika pemikiran Barat modern mulai memasuki dunia Islam. Negara yang pertama kali memasukkan unsur-unsur Barat dalam undang-undang hukum pidananya adalah Kerajaan Turki Usmani. Undang-undang hukum pidana yang mula-mula dikodifikasi adalah pada masa pemerintahan Sultan Mahmud II (1785-1839) pada tahun 1839 di bawah semangat Piagam Gulhane. Dalam undang-undang ini ditentukan bahwa setiap perkara yang besar, putusannya harus mendapat persetujuan Sultan. Undang-undang ini kemudian diperbarui pada tahun 1851 dan disempurnakan pada tahun 1858. Undang-undang hukum pidana ini disusun berdasarkan pengaruh hukum pidana Perancis dan Italia. Undang-undang hukum pidana ini tidak memuat ketentuan hukum pidana Islam, seperti kisas terhadap pembunuhan, potong tangan terhadap pencurian, dan hukuman rajam atas tindak pidana zina.
Perumusan undang-undang hukum pidana diikuti oleh Libanon. Diawali dengan pembentukan sebuah komisi yang bertugas membuat rancangan undang-undang hukum pidana pada tahun 1944. Dalam penyusunannya, Libanon banyak mengadopsi undang-undang hukum pidana Barat seperti Perancis, Jerman dan Swiss.
Undang-undang hukum pidana Libanon menjiwai undang-undang hukum pidana Suriah. Perumusannya diawali dengan pembuatan komisi untuk membuat rancangan undang-undang hukum pidana Suriah pada tahun 1949. Pada tanggal 22 Juni 1949 berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 148 rancangan tersebut disahkan menjadi undang-undang hukum pidana dan dinyatakan efektif berlaku pada bulan September 1949.
Kodifikasi hukum pidana di negara-negara Islam lainnya berbeda-beda sesuai dengan kebijakan pemerintahnya. Arab Saudi dan negara-negara di wilayah Teluk lainnya memberlakukan syariat Islam dalam undang-undang hukum pidananya. Diikuti oleh Sudan, memberlakukan hukum pidana Islam pada bulan September 1983. Sementara Pakistan, mulai tahun 1988 juga mengadakan Islamisasi hukum pidana, Pakistan memberlakukan hukuman potong tangan, dera, dan ketentuan hukum pidana Islam lainnya. Di Indonesia, perumusan undang-undang hukum pidana Islam belum dilakukan hingga kini, karena hukum pidana yang masih berlaku masih peninggalan hukum pidana Barat (Belanda).
Saran dan kritik saya tunggu, dari mahasiswa dan peminat perkembangan hukum pidana islam di Indonesia
Mataram, 10 Januari 2009
m. imam purwadi