Jumat, 16 Januari 2009

HUKUM PIDANA ISLAM

PENGANTAR HUKUM PIDANA ISLAM
Oleh:
M. Imam Purwadi, SH., MH
Fakultas Hukum Universitas Mataram
-------------------


KULIAH KEDUA

HAK – HAK YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM PIDANA ISLAM

Hak Allah dan Hak Manusia, (Ar.: al-haqq Allah; dan al-haqq al-‘ibad). Secara etimologi mengandung pengertian yang banyak dan bermacam-macam, namun semuanya mengacu kepada arti ketetapan dan kepastian, seperti milik, bagian, keadilan, kewenangan, kebenaran, dan lain-lain.
Ulama fikih menyatakan bahwa al-haqq (hak) merupakan hubungan spesifik antara pemegang atau pemilik hak dan kemaslahatan yang diperoleh dari hak itu. Hubungan tersebut dalam syariat Islam tidak bersifat alamiah, yang bersumber dari alam atau ketetapan akal manusia. Sumber hak adalah Allah SWT, karena Allah SWT adalah pembuat syariat, undang-undang dan hukum atas manusia dan seluruh alam. Oleh karena itu, hak selalu terkait dengan kehendak Allah SWT dan merupakan pemberian-Nya, yang dapat diketahui berdasarkan sumber hukum Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw.
Pembagian Hak. Ditinjau dari segi kepemilikannya, hak dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1) hak Allah SWT murni; 2) hak manusia murni; 3) hak yng didalamnya tergabung hak Allah SWT dan hak manusia, namun hak Allah SWT lebih dominan; dan 4) hak yang di dalamnya tergabung dua hak tersebut, namun hak manusia lebih doninan.
Hak Allah Murni, ialah sesuatu yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, mengagungkan-Nya, dan menegakkan syiar agama-Nya; atau sesuatu yang dimaksudkan untuk mewujudkan kepentingan, manfaat, dan kemaslahatan orang banyak tanpa kekhususan pada orang tertentu. Hak tersebut dinisbahkan kepada Allah SWT, karena besarnya kepentingan hak itu dan keumuman manfaatnya. Dengan kata lain, hak tersebut merupakan hak masyarakat dan pensyariatan hukumnya dimaksudkan untuk kemaslahatan umum, hukan untuk kemaslahatan inidividu secara khusus. Hak tersebut bertalian dengan ketertiban umum.
Menurut Mazhab Hanafi, hak Allah SWT ini dapat dikelompokkan pada delapan macam sebagi berikut.
1) Ibadah murni, seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat, salat lima waktu sehari semalam, puasa bulan Ramadan, Zakat harta, dan haji di Baitullah. Ibadah tersebut dimaksudkan untuk menegakkan syiar agama dan sekaligus untuk menjaga ketertiban dan keteraturan masyarakat.
2) Ibadah yang mengandung makna ma’unah, yakni pertolongan ynag diberikan untuk memelihara jiwa dan harta. Misalnya, zakat fitrah disebut ibadah, karena dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan bentuk memberi pertolongan kepada fakir miskin. Oleh karena itu, untuk menunaikan ibadah semacam ini disyaratkan niat. Makna ma’unah tersebut merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil tanah yang tetap produktif di tangan pemiliknya.
3) Ma’unah (pertolongan) yang mengandung makna ibadah, seperti mengeluarkan sepersepuluh atau seperduapuluh dari hasil bumi. Pengeluraran ma’unah tersebut merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil tanah yang tetap produktif di tangan pemiliknya.
4) Ma’unah yang mengandung makna hukuman (uqubah) seperti pengenaan pajak atas nonmuslim. Pengenaan pajak tersebut dimaksudkan sebagai imbalan terhadap tanah produktif yang tetap mereka garap dan terpelihara dari berbagai bentuk kezaliman. Ma’unah sebagai hukuman merupakan ganti rugi atas kewajiban jihad yang tidak dibebankan kepada mereka.
5) Uqubah (hukuman) murni, seperti hukuman terhadap pelaku perzinaan, pencurian, meminum minuman keras, dan lainnya. Hukuman tersebut merupakan hak Allah SWT murni, karena persyaratannya dimaksudkan untuk memaslahatan umum dan menjaga ketertiban masyarkat. Oleh karena itu, hukuman tersebut tidak dapat digugurkan atau dimaafkan oleh siapapun dan dilaksanakan oleh lembaga pengadilan sebagai kepanjangan tangan pemerintah.
6) Hukuman terbatas, seperti terhalangnya seorang pembunuh dari hak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. Terhalangnya hak mewarisi itu merupakan bentuk hukuman sebagi pembalasan terhadap pembunuhan yang dilakukannya. Hanya saja balasan itu tidak terkait deng fisik pembunuh atau pengurangan harta bendanya. Hukuman ini merupakan hak Allah SWT , karena dimaksudkan untuk kepentingan umum dan memelihara ketertiban, yaitu mencegah ketamakan untuk memeperoleh harta warisan dan pewarisnya sebelum saatnya tiba.
7) Hukuman yang mengandung makna ibadah, yaitu semua hak yang berkisar antara ibadah dan hukuman, seperti kafarat sumpah, kafarat zihar (menyamakan istri dengan ibu kandung), kafarat membunuh karena tersalah dan lainnya. Sisi ibadah dalam kafarat-kafarat itu lebih kuat. Kecuali kafarat berbuka puasa Ramadhan dengan sengaja tanpa alasan syar’i; untuk kafarat ini sisi hukuman lebih menonjol. Hak Allah SWT tersebut mengandung makna ibadah karena dilaksanakan dalaam benutk ibadah, seperti berpuasa, memerdekakan hamba sahaya, atau memberi makanan kepada fakir miskin yang harus dilaksanakan langsung oleh seseorang yang melakukan pelanggaran tersebut sebagimana dalam ibadah pada umunya. Kandungan makna hukuman pada hak ini terletak pada kewajibannya sebagai balasan terhadap perbuatan yang dilanggarnya supaya tidak diulanginya kembali. Oleh karena itulah, hukuman tersebut disebut kafarat, artinya penutup atau penghapus dosa.
8) Hak Allah SWT yang berdiri sendiri, tidak bertalian dengan tanggung jawab manusia sebagai hamba-Nya yang wajib dilaksanakan sebagai kepatuhan kepada-Nya . Hak tersebut di antaranya seperlima hasil rampasan perang (ganimah), harta karun yang terpendam yang ditemukan, dan hasil penambangan. Pengeluaran hak Allah SWT tersebut tidak disyaratkan niat, karena tidak termasuk ibadah. Harta yang seperlima tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan dan kepentingan umum.
Berdasarkan kesepakatan ulama fikih, hukum yamg terkait dengan hak-hak Allah SWT tersebut adalah sebagai berikut .
Pertama, tidak boleh digugurkan, baik dengan pemaafan, perdamaian, atau pelepasan hak itu. Hak tersebut juga tidak boleh diubah, baik dengan pengurangan atau penambahan atau penggantian dalam bentuk lain. Oleh karena itulah hukuman pencurian tidak dapat gugur disebabkan adanya maaf dari orang hartanya dicuri, atau tercapainya perdamaian antara pencuri dengan pemilik harta setelah perkaranya diajukan ke muka hakim .
Kedua, hak tersebut tidak dapat diwarisi. Ahli waris tidak berkewajiban melaksanakan hak-hak Allah SWT yang tidak dikerjakan oleh pewarisnya sebelum meninggal dunia, kecuali apabila pewaris telah mewasiatkan untuk mengeluarkannya, seperti wasiat untuk mengeluarkan zakat yang belum dibayarnya. Ahli waris juga tidak bertanggung jawab atas tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan oleh pewarisnya .
Ketiga, berlaku keterpaduan antara hukuman yang menjadi hak Allah SWT. Seseorang yang berzina beberapa kali atau mencuri berkali-kali, namun belum dikenakan hukuman, maka cukup dihukum sekali saja atas dosa-dosanya yang berkali-kali itu, karena maksud hukuman itu adalah membuatnya jera dan tidak kembali mengerjakan kejahatannya. Tujuan itu dapat terwujud dengan hukuman sekali saja. Pelaksanaan hukuman tersebut adalah kewenangan pemerintah .
Hak Manusia, yaitu suatu hak yang di maksudkan untuk memelihara kemaslahatan dan kepentingan perorangan, baik yang bersifat umum maupun khusus. Hak yang bersifat umum, seperti pemeliharaan kesehatan anak dan harta benda, serta terwujudnya keamanan dan penikmatan sarana umum milik agama. Hak yang bersifat khusus, seperti hak penjual menerima pembayaran atas barang yang dijualnya, hak pembeli atas barang yang dibelinya, hak seseorang untuk mendapatkan ganti rugi atas barang yang dibelinya, hak seseorang untuk mendapatkan ganti rugi atas harta bendanya yang dirusak orang lain, hak istri untuk mendapatkan nafkah lahir dan batin dari suaminya, hak ibu untuk memelihara anaknya yang masih kecil (hadlanah), hak bapak untuk menjadi wali anaknya, dan lain sebagainya.
Hukum yang terkait dangan hak manusia ini, antara lain ialah pemiliknya dibolehkan melepaskan dan mengugurkan haknya dengan cara pemaafan, perdamaian atau membebaskan tanggungan atas seseorang, atau membolehkannya kepada siapapun. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap hak ini merupakan kezaliman. Allah SWT tidak akan menerima tobat seseorang yang melanggarnya kecuali pemilik hak memaafkanya atau hak itu dikembalikan oleh pelanggar kepadanya. Pada hak ini berlaku pewarisan oleh keluarga dekatnya sesuai aturan yang berlaku dalam hukum waris. Kemudian tidak berlaku keterpaduan pada hak ini. Maksudnya hukum yang terkait dengan hak perseorangan berlaku secara ketat, tidak ada penggabungan dan pemenuhan hak itu berkaitan langsung dengan pemilik hak atau walinya.
Hak yang di dalamnya tergabung Hak Allah SWT dan Hak Manusia, namun Hak Allah SWT lebih dominan.
Misalnya, iddah perempuan yang di ceraikan. Di dalamnya terdapat hak Allah SWT yang berbentuk kepentingan dan kemaslahatan umum, yaitu memelihara nasab (keturunan) secara umum dari percampuran. Adapun hak manusia yang ada di dalamnya ialah pemeliharaan kemurnian anak mantan suami secara khusus dari percampuran dengan nasab orang lain jika mantan istri kawin dengan laki-laki lain sebelum habis masa iddahnya. Hak Allah SWT dalam hal ini lebih dominan, karena pemeliharaan nasab secara umum berkaitan langsung dengan persoalan sosial, tatanan, dan ketertiban. Kemaslahatan yang terkait adalah pemeliharan masyarakat dari berbagai kekacauan dan dekadensi. Contoh lain ialah poemeliharaan manusia terhadap kehidupanya, akalnya, kesehatannya, dan harta bendanya. Didalamnya juga terdapat dua hak namun hak Allah SWT lebih dominan, karena keumuman manfaat pemeliharaan itu kembali pada masyarakat secara keseluruhan. Adapun hukum yang terkait dengan hak-hak ini sama dengan hak Allah SWT lebih dominan.
Hak yang di dalamnya tergabung Hak Allah SWT dan Hak Manusia, namun Hak manusia lebih dominan.
Misalnya, adalah kisas (pembunuhan) terhadap pembunuh dalam pembunuhan sengaja. Adanya kemaslahatan umum dalam kisas, yaitu memelihara darah, menjaga keamanan, dan memperkecil tindak pidana dan kejahatan, maka kisas merupakan hak Allah SWT. Sebagai hak manusia, kisas mewujudkan kemaslahatan wali orang yang terbunuh, menyembuhkan sakit hatinya, serta memadamkan api kemarahan dan dendamnya terhadap pembunuh. Syariat islam memandang aspek ini lebih berat, sehingga hak manusia dianggap lebih dominan dan hak Allah SWT. Oleh karena itu, wali korban sebagai pemilik hak, disamping berhak menuntut kisas, diperkenankan untuk memaafkan pembunuh sehingga hukuman kisas tidak dilaksanakan. Selajutnya mereka dapat berdamai dengan pembayaran diat (tebusan/denda), bahkan hal ini dianjurkan oleh Allah SWT dalam Q.S. al-Baqaarah (2) ayat 178:
“…Maka barang siapa yang mendapatkan pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula…”
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan mana di antara dua hak itu yang lebih dominan, ketika nas tidak menejelaskannya. Misalnya hukuman terhadap tindak pidana qazf (menuduh orang lain berbuat zina) merupakan hak Allah SWT jika dilihat dari segi kemanfaatan dan kemaslahatan umum yang ada di dalamnya, yaitu memelihara kehormatan manusia pada umumnya dan memberantas kerusakan dan kejahatan dalam masyarakat. Kemudian ditinjau dari segi menolak aib orang yang dituduh berbuat zina dan mengembalikan kehormatannya, maka hukuman itu merupakan hak manusia perseorangan
Menurut ulama Mazhab Hanafi, dalam kasus seperti ini, hak Allah SWT lebih nyata dan dominan. Oleh karena itu, hukumannya tidak dapat digugurkan disebabkan kemaafan yang diberikan oleh yang dituduh, sementara pelaksanaanya berada di tangan pemerintah, yaitu lembaga peradilan. Namun, menurut Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanbali, dan satu riwayat dari Imam Malik, dalam kasus qazf ini hak manusia lebih dominan. Oleh karena itu, hukumannya dapat digugurkan oleh pemaafan orang yang dituduh berzina.
HAK ASASI . Dalam bahasa Indonesia hak asasi dijelaskan sebagai hak yang dasar atau pokok, seperti hak hidup dan hak mendapat perlindungan. Ide hak-hak asasi manusia timbul pada abad ke-17 dan ke-18, sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja dan kaum feodal di zaman itu tehadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan sebagai lapisan bawah. Lapisan bawah tidak mempunyai hak-hak. Mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang, sebagai budak yang dimiliki. Sebagai reaksi terhadap keadaan yang pincang ini, timbullah gagasan supaya lapisan bawah itu-karena mereka adalah manusia juga diangkat derajatnya dari kedudukan budak menjadi sama dengan lapisan atas. Muncullah ide untuk menegakkan hak-hak asaasi manusia (HAM). Semua manusia sama, tidak ada budak yang dimiliki; semua merdeka dan bersaudara.
Namun, jauh sebelum abad ke –17 dan ke –18, telah dikenal berbagi aturan yang mengatur tentang hak-hak asasi manusia. Dalam Kode Hukum Hammurabi, Raja Babylonia (abad ke-18 SM), misalnya, ada indikasi yang membenarkan bahwa dalam masyarakat manusia di dunia Barat telah mulai tumbuh kesadaran akan martabat dan harkat dirinya, sehingga Kode Hukum Hammurabi sengaja diundangkan untuk memberantas kecongkakan sebagian manusia atas sesamanya dan membawa keadilan bagi seluruh masyarakat.
Dalam hukum ini dijelaskan bahwa hukuman pembalasan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Kedudukan dan kebebasan kaum wanita diakui sama dengan kaum lelaki. Pihak suami dan istri tidak boleh menggagalkan perkawinan yang sudah dijalaninya atau yang sedang berlangsung. Adapun bagi pelaku zina dikenakan hukuman mati. Seseorang akan dikenakan sanksi pidana apabila ia membangun rumah sedemikian gegabahnya, sehingga runtuh dan menyebabkan orang lain cedera.
Pada zaman Yunani Kuno, Plato (42-347 SM) telah memaklumkan kepada warganya, bahwa kesejahteraan bersama baru tercapai kalau setiap warganya melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Juga Aristoteles (384-322 SM) seringkali memberikan wejangan kepada para pengikutnya bahwa negara yang baik adalah negara yang sering memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat banyak.
Dalam akar budaya masyarakat Indonesia pun, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan martabat manusia sudah mulai berkembang. Misalnya, dalam masyarakat Jawa kuna telah dikenal istilah “Hak Pepe”, yaitu hak warga desa yang diakui dan dihormati oleh penguasa setempat, seperti hak mengemukakan pendapat, walaupun hak tersebut bertentangan dengan kemauan penguasa.
Piagam Madinah juga mengatur tentang hak-hak asasi manusia (HAM). Dalam Piagam ini dijelaskan bahwa umat Islam diikat dengan tali ikatan agama, bukan berdasarkan suku, asal-ususl, ras dan kedudukan sosial (pasal 1). Kaum Yahudi adalah salah satu umat yang peralel, berdampingan dengan kaum mukmin, dan bebas menjalankan agama mereka, seperti halnya kaum muslim (pasal 25). Orang Yahudi juga berhak mendapat pertolongan dan santunan, sepanjang hak-hak kaum muslim tidak terganggu (pasal 16). Sesama muslim tidak boleh saling membunuh (pasal 14). Tidak ada perbedaan di antara suku-suku yang ada mereka sederajat (pasal 26-35).
Bagi bangsa Indonesia, menurut Nurcholish Madjid, perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia (HAM) adalah kewajiban bersama. Hal ini sesuai dengan tuntutan nilai-nilai falsafah Pancasila. Semua sila dalam falsafah itu melahirkan kewajiban untuk menegakkan hak-hak asasi, khususnya sila “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Namun, dalam kenyataannya, kesadaran tentang HAM dikalangan masyarakat luas masih merupakan masalah .
Dalam UUD 1945 juga dijelaskan beberapa prinsip dasar tentang HAM . Pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 misalnya, dinyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan karenanya segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Hak-hak tiap warga negara sama didepan hukum, hak atas pekerjaan dan penghitungan yang layak (pasal 27), hak kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran, baik lisan maupun tulisan (pasal 28), kebebasan dalam beragama (pasal 29), hak mendapatkan pendidikan (pasal 31, dan hak untuk mendapatkan layanan dan perlindungan kesejahteraan sosial (pasal 34) .
Ide hak-hak asasi manusia juga terdapat dalam Islam. hal ini dapat dilihat dalam ajaran tauhid. Tauhid dalam Islam, menurut Harun Nasution, mengandung arti bahwa yang ada hanya satu pencipta bagi alam semesta. Ajaran dasar pertama dalam Islam adalah la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah SWT, tiada Pencipta selain Allah SWT). Seluruh alam dan semua yang ada diatas, dipermukaan, dan di dalam bumi adalah ciptaan Yang Maha Esa. Semuanya; manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda tak bernyawa berasal dari Yang Maha Esa .
mataram, 17 Januari 2009
m. imam purwadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar