Jumat, 16 Januari 2009

HUKUM PERADILAN AGAMA

PENGANTAR
HUKUM PERADILAN AGAMA
Oleh:
M. Imam Purwadi., SH., MH
Fakultas Hukum Universitas Mataram
__________

KULIAH PERTAMA
SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

Sejak jaman kolonial Balanda sampai kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus l945 dan sebelum Undang-undang Nomor 7 tahun l989, kewenangan Peradilan Agama dalam menangani kewarisan mengalami pasang surut dalam pereodesasinya. Fakta sejarah bahwa jauh sebelum kolonial Belanda datang, di Indonesia telah terbentuk masyarakat muslim dan dalam kehidupannya lembaga peradilan agama merupakan kebutuhan kemasyarakatan. Dalam operasionalisasinya selalu ada pemuka-pemuka agama yang bertugas secara khusus untuk mu’amalat dalam bidang perkawinan, talak, rujuk, iddah, kewarisan, wasiat, seperti ditunjukkan dalam Kesultanan Aceh, Kerajaan Pasai, Jambi, Demak, Mataram, dan sebagainya. Walaupun pada masa itu secara yuridis Pengadilan Agama belum ada, tetapi secara praktis penyelesaian masalah-masalah tersebut diberikan secara tahkim dari umat Islam kepada pemuka agama di daerahnya masing-masing.[1]
Pada tahun l600 sampai dengan l800-an, sebelum Pengadilan Agama dibentuk pada tahun l882, pemerintah kolonial Belanda masih dan telah mengakui keberadaan hukum Islam serta berjalannya Peradilan Agama di masyarakat muslim Indonesia. Hal ini dapat disebutkan sebagai berikut :
a. Pada tahun l760, VOC mengeluarkan Compendium Freijer berupa suatu himpunan peraturan-peraturan hukum Islam mengenai kewarisan, nikah dan talak sesuai dengan perintah Statuten van Batavia l642, yang menyebutkan bahwa sengketa kewarisan antara orang-orang pribumi yang beragama Islam harus mempergunakan hukum Islam.[2]
b. Pada tahun l808 terdapat instruksi dari pemerintah kolonial Belanda kepada para Bupati yang menyatakan: terhadap urusan-urusan agama orang Jawa tidak akan dilakukan gangguan-gangguan, sedangkan kepala-kepala “pendeta” mereka dibiarkan untuk memutus perkara-perkara tertentu dalam bidang perkawinan dan kewarisan, dengan syarat bahwa tidak akan ada penyalah-gunaan dan banding dapat dimintakan pada hakim banding.[3]
c. Pada tahun l823 berdasarkan Resolusi Gubernur Jenderal, tanggal 3 Juni l823 Nomor 12, diresmikan “Pengadilan Agama” di Palembang yang diketuai oleh Pangeran Penghulu dengan wewenang meliputi perkawinan, perceraian, pembagian harta, perwalian, dan perkara-perkara lainnya yang menyangkut agama.[4]
d. Pada tahun l835 dengan resolusi tanggal 7 Desember l835 yang dimuat dalam S. l835: 20, dinyatakan: apabila terjadi sengketa orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang harus diputus menurut hukum-hukum Islam. maka para “pendeta” memberi keputusan, akan tetapi gugatan untuk mendapat pem-bayaran yang timbul dari keputusan para “pendeta” itu harus dimajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa.[5]
Selanjutnya perkembangan lembaga “tahkim” tersebut mencapai bentuknya dengan pemerintah kolonial Belanda meresmikan Peradilan Agama dengan nama Priesterrad (majlis atau pengadilan pendeta) pada tahun l882.
Di bawah ini, perkembangan kewenangan Peradilan agama dalam bidang kewarisan dengan bermacam-macam peraturan.
a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (S. l882: 152 jo S. l937: 116 dan 610)
Wewenang Peradilan agama menurut S. l882: 152 tidak ditentukan secara jelas. Oleh karena demikian adanya, maka Pengadilan Agama sendirilah yang menentukan perkara-perkara yang dipandangnya termasuk ke dalam lingkungan kekuasaannya, yakni perkara-perkara yang berhubungan dengan pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, shadaqah, baitulmal, dan wakaf.[6] Sedangkan menurut Sajuti Thalib, wewenang Pengadilan Agama tersebut tetap berlaku pasal 78 ayat (2) R.R. yang dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia, tunduk pada putusan hakim agama menurut peraturan agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka.[7]
Selanjutnya pada tahun l929, dengan S. 1929: 221 hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Hal ini ditandai dengan perubahan pasal 134 ayat (2) I.S. l925 yang masih sesuai dengan pasal 78 ayat (2) R.R. menjadi pasal 134 ayat (2) S. 1929: 221, yang berbunyi dalam hal terjadi sengketa perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi.[8] Ini berarti hukum Islam tidak berlaku lagi di Indonesia kecuali untuk hal-hal yang dikehendaki oleh hukum Adat. Hubungannya dengan Peradilan Agama, perubahan pasal 134 ayat (2) I.S. l925 menjadi pasal 134 ayat (2) S. 1929: 221 menjadi dasar terbentuknya S. l937: 116 jo 610. Menurut staatsblad tersebut Peradilan Agama di Jawa dan Madura hanya berwenang mengadili perkara perkawinan saja, sedangkan perkara kewarisan dicabut dan diserahkan wewenangnya kepada Pengadilan Negeri.[9]
b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residen Kalimantan Selatan dan Timur (S. l937: 638 dan 639)
Dalam peraturan ini, Kerapatan Qadi tidak mempunyai kewenangan mengadili perkara kewarisan. Perkara kewarisan diserahkan dan menjadi wewenang Pengadilan Negeri. Menurut staatsblad tersebut Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar semata-mata hanya berkuasa memeriksa perselisihan antara suami-isteri yang beragama Islam, yakni mengenai nikah, talak, rujuk dan perceraian dengan perantaraan hakim agama, sedangkan mengenai tuntutan pembayaran uang dan pemberian benda-benda atau barang-barang tertentu harus diperiksa dan diputus oleh hakim biasa. [10]
Penghapusan wewenang Pengadilan Agama mengadili perkara kewarisan, berkaitan erat dengan kebijakan politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang menghendaki berakhirnya hukum Islam bagi orang-orang Indonesia yang beragama Islam. Hal itu, menurut Sajuti Thalib, berdasarkan pasal 134 ayat (2) S. 1929: 221 di atas, menjadi sumber formal teori receptie.[11]
c. Peraturan Pemerintah Nomor: 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura (L.N. l957: 99)
Pasal 4 ayat (1) peraturan tersebut menegaskan, bahwa:
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami-isteri yang beragama Islam dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, mas kawin (mahar), tempat kediaman (maskan) dan sebagainya, hadhanah, perkara waris mal waris, wakaf, hibah, shadaqah, baitulmal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta’liq sudah berlaku.[12]
Pasal tersebut menegaskan bahwa perkara kewarisan menjadi kewenangan Pengadilan agama di luar Jawa dan Madura.
Berlakunya ketentuan-ketentuan tersebut di atas, menggambarkan adanya keanekaragaman peraturan yang mengatur lembaga Pengadilan agama di Indonesia. Berdasarkan ketentuan S. 1882 : 152 jo S. 1937: 116 dan 610, Peradilan Agama di Jawa dan Madura hanya mempunyai wewenang mengadili perkara yang berhubungan dengan perkawinan. Sedangkan perkara kewarisan dicabut oleh staatsblad tersebut dan selanjutnya menjadi wewenang Pengadilan Negeri. Demikian pula menurut S. 1937 : 638 dan 639, kerapatan Qadi dan kerapatan Qadi Besar di sebagian Kalimantan Selatan dan Timur hanya mempunyai wewenang mengadili perkara perselisihan antara suami-isteri yang beragama Islam tanpa kewenangan mengadili perkara kewarisan. Tetapi sebaliknya menurut PP No. 45 Tahun l957, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura dan sebagian Kalimantan Selatan dan Timur mempunyai kewenangan memeriksa perkara kewarisan disamping perkara-perkara perdata lainnya.
Perbedaan yurisdiksi (kewenangan) Peradilan Agama menyangkut perkara kewarisan yang didasarkan pada peraturan-peraturan tersebut di atas, membedakan perlakuan masyarakat muslim di Jawa dan Madura, sebagian Kalimantan Selatan dan Timur dengan masyarakat muslim yang ada di luar Jawa dan Madura serta sebagian Kalimantan selatan dan Timur. Masyarakat muslim yang ada di pulau Jawa, Madura dan sebagian Kalimantan selatan dan Timur, dalam penyelesaian perkara kewarisannya diterapkan hukum kewarisan Adat yang dimasukkan dalam yurisdiksi Pengadilan Negeri, sedangkan di daerah lain, dalam penyelesaian perkara kewarisannya, diterapkan hukum kewarisan Islam yang menjadi yurisdiksi Pengadilan Agama.[13]
Perbedaan yurisdiksi peradilan agama tersebut akhirnya dicabut oleh Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diundangkan pada tanggal 29 Desember l989 dalam Lembaran Negara Nomor 49 tahun l989. Pengesahan undang-undang tersebut merupakan tonggak sejarah bagi umat Islam Indonesia dan pembangunan perangkat hukum nasional. Sebabnya adalah, dengan disahkannya undang-undang itu semakin mantaplah kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di Indonesia dalam menegakkan hukum berdasarkan hukum Islam bagi pencari keadilan mengenai perkara-perkara (perdata) di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah yang telah menjadi hukum positif di Indonesia.[14]
Dengan Undang-undang Peradilan Agama (UUPA) tersebut, masyarakat muslim yang menjadi bagian terbesar penduduk Indonesia diberi kesempatan untuk mentaati hukum Islam sesuai dengan jiwa pasal 29 Undang-Undang Dasar l945 terutama ayat (2) nya.
Pengesahan UUPA bertujuan untuk (1) mempertegas kedudukan dan kekuasaan Peradilan agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang mandiri, (2) menciptakan kesatuan hukum Peradilan agama, dan (3) memurnikan fungsi Peradilan Agama.
1) Mempertegas kedudukan dan kekuasaan Peradilan Agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang mandiri
Konsideran (c) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 merumuskan bahwa “salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum adalah melalui Peradilan Agama sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 tahun l970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman”.
Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu”. Kedua rumusan tersebut mempertegas kedudukan dan fungsi Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dan sederajat dengan Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan pasal 10 Undang-undang Nomor 14 tahun l970.
Dalam hal ini pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun l989 menjelaskan bahwa “kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi”.
2) Menciptakan kesatuan hukum mengenai Peradilan Agama
Konsideran (d) Undang-undang Nomor 7 tahun l989: “... perlu segera diakhiri demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam rangka sistem dan tata hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar l945”.
Dengan pengesahan Undang-undang Nomor 7 tahun l989, bertujuan menciptakan kesatuan hukum di lingkungan Peradilan Agama yang meliputi susunan, kekuasaan dan hukum acara sampai kesatuan landasan hukum dan keseragaman kewenangan (yurisdiksi). Kesatuan dan keseragaman kewenangan (yurisdiksi) Peradilan Agama ditegaskan dalam Bab III (kekuasaan pengadilan) yang dirinci dalam pasal 49, yaitu Peradilan Agama berwenang menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a. perkawinan.
b. kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
c. wakaf dan shadaqah.
3) Memurnikan fungsi Peradilan Agama
Selain tujuan di atas, Undang-undang Nomor 7 tahun l989, bertujuan untuk memurnikan dan sekaligus menyempurnakan fungsi dan susunan organisasi Peradilan Agama agar dapat mencapai tingkat sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang sebenarnya.[15] Dengan tujuan tersebut berarti wujud keberadaan Peradilan Agama benar-benar sebagaimana layaknya badan peradilan yang murni dan lengkap susunan serta kekuasaannya. Peradilan Agama tidak lagi sebagai “peradilan semu” seperti yang sudah berjalan ratusan tahun. Kesemuan peradilan agama itu tampak dalam melaksanakan fungsinya.
Jauh sebelum ada Undang-undang Nomor 7 tahun l989, tepatnya mulai tahun l882 dengan S. l882: 152, Peradilan agama telah mempunyai kewenangan memeriksa perkara-perkara yang ada hubungannya dengan nikah, talak, rujuk, perwalian, kewarisan, wakaf dan segala hal yang dipandang erat hubungannya dengan agama Islam. Namun dalam pelaksanaannya, putusan Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan untuk dipaksakan berlakunya. Putusan Pengadilan Agama harus dimintakan executoir verklaring atau pengukuhan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Hal itu karena Pengadilan Agama tidak memiliki perangkat pejabat juru sita. Akibatnya, Pengadilan Agama menjadi “pengadilan semu”, tidak mandiri dalam melaksanakan putusan-putusannya. Ketiadaan pejabat juru sita menyebabkan setiap putusan Pengadilan Agama perlu dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri, baru kemudian dapat dilaksanakan.
Dengan pengesahan Undang-undang Nomor 7 tahun l989, ketergantungan Pengadilan Agama kepada Pengadilan Negeri selama ratusan tahun tersebut, diakhiri. Undang-undang tersebut telah memurnikan kembali fungsi Peradilan Agama dengan melengkapi susunan dan kekuasaan Peradilan Agama. Perangkat pejabat juru sita diatur dengan jelas dalam undang-undang tersebut. Kini, Peradilan Agama tidak lagi “peradilan semu”, tetapi telah benar-benar menjadi peradilan mandiri yang dapat melaksanakan semua putusan-putusannya.
[1] Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia: Suatu studi tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, (alih bahasa: H. Zaini Ahmad Noeh), Jakarta: Intermasa, l980, hal. 2. H. Mohammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan Risalah, l984, hal. 8-10. H. Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, l995, hal. 4.
[2] Ali, Kedudukan ..., Ibid., hal. 11. Lihat juga, Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Pradnja Paramita, l981, hal. 61.
[3] H. Idris Djakfar dan Taufik Yahya, op. cit., hal. 5.
[4] Ibid. Lihat juga, H. Munawir Sadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum dalam rangka menentukan Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, l99l, hal. 43.
[5] Djakfar dan Yahya, Ibid.
[6] Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Bp. Gadjah mada, l969, hal. 10.
[7] Sajuti Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, Jakarta: Bina Aksara, l985, hal. 14-18.
[8] Ibid., hal. 38.
[9] Djakfar dan Yahya, ibid., hal. 6.
[10] Ibid.
[11] Thalib, Receptio ..., op. cit.
[12] H.M. Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, l982, hal. 50.
[13] M. Yahya Harahap, op. cit., hal. 29.
[14] Lihat, H. Mohammad Daud Ali, Asas-asas ..., op. cit., hal. 255.
[15] Ibid., hal. 32.
Mataram, 17 Januari 2009
hak cipta ada pada m. imam purwadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar